Web Hosting

Selasa, 09 Juni 2015

Man Jadda Wa Jada

Man Jadda Wa Jada
Hari ini adalah hari kelulusanku. Aku lihat teman-temanku yang tengah mempersiapkan berbagai dokumen untuk kuliah mereka. Aku tertunduk lesu berbeda sekali dengan sifatku yang biasanya berisik.

Walaupun orang tuaku tidak bicara apa-apa tapi untuk meminta mereka menguliahkanku rasanya tidak mungkin. Walau nilai yang aku dapat di atas rata-rata, bahkan aku mendapat peringkat tiga umum tapi kuliah hanya mimpi sepertinya.

Adikku yang berumur empat tahun, sebentar lagi akan memasuki usia sekolah. Meminta mereka membiayai kuliahku dan sekolah adikku pasti akan memberatkan mereka. Aku bisa sekolah hingga sekarang saja sudah suatu kebahagiaan tersendiri. Setelah ini mungkin aku akan bekerja, tapi kerja apa. Aku hanya lulusan SMA bukan SMK.

“Ham, kuliah dimana?” tanya Maulana mengagetkanku.

“Enggak kok. Aku kerja setelah ini,” jawabku pendek.

“Loh, kamu kan pintar, sia-sia otak kamu nanti kalau cuma sebatas SMA.”

“Yah mau bagaimana lagi. Kamu kan tahu orang tuaku, tidak ada biayanya.”

“Kan ada beasiswa.”

Aku hanya menggeleng sembari meninggalkannya pulang. Memang benar ada beasiswa tapi aku terus menerus ditolak dengan alasan keluarga kami masih tergolong mampu. Harapanku untuk kuliah jurusan hukum, mungkin hanya akan menjadi sebuah impian belaka.

Tiga bulan berselang, karir pertamaku dimulai. Aku bekerja sebagai OB di sebuah perusahaan. Sedikit demi sedikit aku menabung hingga akhirnya aku mampu membelikan sebuah sepeda motor untuk keluargaku walau bekas. Di saat yang sama aku diajari berbagai macam hal tentang teknologi komputer oleh orang-orang di kantor tempatku bekerja.

Karena kemampuanku, aku cepat mengerti tentang jaringan maupun troubleshooting. Setiap terjadi masalah komputer di kantorku kini akulah yang menjadi teknisinya.

“Kamu enggak ingin kuliah?” kata HRD tempatku bekerja.

“Enggak pak.”

“Loh kenapa? Kan ada universitas yang membuka kelas untuk karyawan. Kasihan masa depan kamu kalau cuma lulusan SMA. Padahal kamu pintar loh, dan sekarang coba kamu lihat. Kamu sudah pintar bidang IT, itu pasti akan berguna nanti. Teknologi itu selalu berkembang. Walaupun kamu pintar tapi tanpa hitam di atas putih alias ijasah kepintaran kamu tidak ada gunanya. Coba deh dipikir ulang untuk kuliah,” katanya panjang lebar.

Sejak itu kembali muncul kerinduanku akan kuliah. Melihat gaji yang aku terima sepertinya cukup untukku kuliah. Lagipula aku sudah memiliki sepeda motor yang bisa aku gunakan untuk pergi kemanapun. Tapi bagaimana kalau nanti aku berhenti di tengah jalan? Apakah gaji ini juga cukup untuk membantu orang tuaku menyekolahkan adikku nantinya? Berbagai pertanyaan muncul di benakku, haruskah aku kuliah atau tidak.

Sepanjang sholat aku terus berdoa pilihan mana yang harus aku ambil. Hingga suatu ketika aku membaca koran, seorang anak tukang becak berhasil menjadi sarjana. Aku berkata dalam hatiku, “Apakah ini jawaban dari doaku?” Aku baca kisah hidup orang tersebut hingga ia berhasil menjadi sarjana. Kisah yang tak jauh beda dengan yang aku alami saat ini. Perbedaannya hanya terletak pada semangatnya akan ilmu dan keyakinannya bahwa selalu ada Tuhan di manapun kita berada.

Bagaimana aku bisa lupa Man Jadda Wa Jada. Kalau dulu mungkin memang belum ada jalan bagiku kuliah. Sekarang ketika aku bukan lagi beban bagi orang tuaku mengapa aku ragu untuk kuliah. Ini adalah jalan yang sudah disediakan Tuhan dan aku tinggal menggerakkan kaki untuk melangkah.

Aku mulai mencari info dimana aku bisa kuliah dan tetap bisa bekerja. Walau cita-citaku masuk jurusan hukum tetapi melihat minat dan kemampuanku yang sekarang akhirnya aku memilih komputer sebagai masa depanku.

Orang tuaku justru menangis dan meminta maaf saat aku minta pertimbangan mereka. Mereka hanya bisa mendoakan tapi bagiku itu lebih dari cukup. Sekarang sesuatu yang dulunya aku anggap sebuah mimpi kini menjadi kenyataan. Aku menjadi seorang mahasiswa. Seorang mahasiswa dengan kisah yang luar biasa tentang perjuangannya untuk bisa menyandang nama sarjana. Kini aku mulai menatap akhir dari kuliahku, skripsi akan berada di depan mataku. Walau beban pekerjaan yang terus bertambah tapi itu sudah menjadi resiko yang aku ambil dan siap untuk aku hadapi.

Tuhan memang luar biasa dengan segala kuasa-Nya. Dulu mungkin belum saatnya tapi kini adalah saatnya menunjukkan siapa aku, betapa cerdasnya aku, dan betapa membanggakannya diriku di mata orang tuaku.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar