Web Hosting

Minggu, 03 Mei 2015

Gadis Berjilbab Ungu

Gadis Berjilbab Ungu
Bagiku sudah biasa aku mendengar kemarahan ayah seperti saat ini. Ibuku hanya bisa menangis melihat aku yang sedang dibentak-bentak ayah. Tapi beginilah aku, karena aku selalu berprinsip ini adalah aku, ini hidupku. Jadi mau seperti apa aku itu adalah hakku.

Aku memang seorang pemabuk, tapi apa itu merugikan orang lain? Menurutku tidak sama sekali. Kenapa mereka tidak melihat orang yang mabuk akan jabatan? Dan di saat mereka akhirnya menjabat, berapa ribu orang yang dirugikan karenanya? Aku hanya mabuk minuman, dan mengapa itu seakan-akan menjadi hal yang sangat bersalah di mata orang lain? Apakah aku merugikan mereka?

Aku hanya merasa dengan mabuk aku bisa terbebas dari beban pikiranku. Entah itu karena keluarga atau pekerjaanku. Tak terasa kini usiaku sudah memasuki usia pernikahan. Aku tak pernah berharap banyak untuk calon istriku. Aku sendiri sadar aku hanya seorang pemabuk, jadi aku tak ingin bermimpi terlalu tinggi.

“Wan, tolong kamu antarkan kue ini ke Pak Haji,” suruh ibuku sore itu.

“Sekarang Bu?”

“Iya Wan,” sahutnya.

Ibuku adalah penjual kue di rumah, banyak tetangga kami yang memesan kue pada ibu untuk acara hajatannya. Sedangkan ayah hanya seorang petani tadah hujan. Kehidupan kami biasa saja, layaknya keluarga pada umumnya.

“Assalamu’alaikum,” kataku begitu sampai di depan pintu.

“Wa’alaikumsalam,” terdengar suara dari dalam rumah.

Setelah pintu terbuka, muncul seorang gadis berjilbab warna ungu berdiri di depanku. Entah mengapa secara tiba-tiba jantungku berdenyut lebih cepat. Aku terpesona melihat gadis itu.

“Mas. Mas Wanto, hei,” katanya mengagetkanku.

“Ah, oh maaf. Ehm ini pesanan kue untuk Pak Haji,” kataku tergagap.

“Oh terima kasih Mas, masuk dulu Mas.”

“Enggak usah ah, cuma mau mengantarkan ini saja kok. Kamu Aini kan?”

“Iya Mas, kenapa?”

“Enggak. Kaget saja, kok sekarang sudah di rumah.”

“Iya Mas, aku sudah lulus dari pondok pesantren. Sekarang mau kuliah, jadi ya tinggal di rumah deh,” katanya sambil tersenyum.

“Oh begitu ceritanya. Ya sudah aku pulang dulu ya. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Sejenak aku lirik Aini yang menutup pintu sebelum aku pergi. Benar-benar cantik batinku. Dia sudah membuatku jatuh hati seketika itu. Sepanjang perjalanan pulang aku cengar-cengir tak karuan. Kepalaku penuh khayalan tentang Aini, gadis berjilbab ungu.

“Kenapa Wan?” tanya ibu sesampainya di rumah.

“Enggak kok Bu,” kataku tersipu malu.

“Ketemu Aini ya?” tanya ibu. Mendengarnya aku hanya bisa garuk-garuk kepala tak sanggup menjawab. Malu rasanya jika ibu sampai tahu apa yang sedang aku rasakan.


“Dia cantik ya, Ibu jadi ingin punya menantu seperti dia.” Tersentak jantungku mendengar pengakuan ibu. Dengan segera aku pergi menuju kamarku, itu lebih baik daripada aku salah tingkah di depan ibu.

Begitu memasuki kamarku rasanya seperti terhempas ke bumi setelah aku terbang tinggi. Aku lihat kamarku dengan seksama, tidak ada satu pun yang menunjukkan ke Islamanku. Yang ada hanya berbagai aib terpampang di hadapanku

Apa aku pantas mencintai anak Pak Haji? Siapa aku ini, hanya seorang pemabuk setiap malam. Aini lulusan pesantren, pasti pandai mengaji. Sedangkan aku, juz ‘amma saja tidak bisa membacanya. Berbagai pertanyaan menghantuiku seketika itu.

Aku tertunduk diam mulai mengingat dosa-dosaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Sudah berapa tahun aku lewati dalam kelalaian. Kini ketika aku telah jatuh hati, ketika orang lain bahagia karena cintanya, justru rasa sakit yang aku rasakan. Bimbang tentang nasib cintaku ini.

Hingga aku putuskan bahwa hari ini adalah hari kematian Wanto yang dulu, dan kelahiran Wanto yang baru. Aku akan memantaskan diriku untuk Aini. Aku akan memperjuangkan cintaku pada Aini. Untuk pertama kalinya aku sholat dengan penuh perasaan hingga aku menangis tersedu-sedu mengingat dosa-dosaku.

Perubahan diriku mulai nampak hari demi hari. Ayahku kembali berbicara padaku setelah mendiamkanku karena bosan menasehatiku. Ibuku semakin bahagia melihat perubahan diriku. Hanya teman-temanku saja yang masih usil menggodaku, tapi aku sudah bertekad aku akan berubah. Alasanku untuk berubah tidak lagi demi Aini, tapi demi orang tuaku. Aku tak mau terlalu jauh berkhayal tentang Aini. Semua akan aku lakukan demi kebahagiaan orang tuaku.

“Wan, kamu sudah saatnya menikah. Sekarang kamu sudah berubah. Kata Ibu kamu jadi seperti ini karena Aini,” kata ayah.

“Awalnya memang begitu Yah, tapi sekarang aku sadar. Alasan aku berubah adalah Ayah dan Ibu. Bukan Aini lagi, aku hanya ingin melihat kalian bangga melihat aku yang sekarang.”

“Kamu tidak mau Aini Ayah lamarkan untuk kamu?”

“Tidak Yah. Aku malu, aku ini siapa. Lebih baik jika sementara ini aku bekerja sungguh-sungguh demi ayah dan ibu.”

Orang tuakau bahagia mendengarkan penuturanku. Memang cintaku pada Aini belumlah hilang sama sekali. Tapi bagiku dia adalah malaikat yang membisikkanku firman Tuhan secara tidak langsung lewat sikapnya. Dia akan tetap menjadi wanita yang aku cintai, dan semoga saja aku akan berjodoh dengannya kelak. Duhai Aini, duhai gadis berjilbab ungu, terima kasih atas kehadiranmu di cerita kehidupanku. Terima kasih sudah mengubah duniaku, sudah memperkenalkan aku kepada Tuhan untuk kedua kalinya, walaupun dirimu tak pernah sadar akan cintaku padamu. Terima kasih Aini.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar