Bagiku
sudah biasa aku mendengar kemarahan ayah seperti saat ini. Ibuku hanya bisa
menangis melihat aku yang sedang dibentak-bentak ayah. Tapi beginilah aku,
karena aku selalu berprinsip ini adalah aku, ini hidupku. Jadi mau seperti apa
aku itu adalah hakku.
Aku
memang seorang pemabuk, tapi apa itu merugikan orang lain? Menurutku tidak sama
sekali. Kenapa mereka tidak melihat orang yang mabuk akan jabatan? Dan di saat
mereka akhirnya menjabat, berapa ribu orang yang dirugikan karenanya? Aku hanya
mabuk minuman, dan mengapa itu seakan-akan menjadi hal yang sangat bersalah di
mata orang lain? Apakah aku merugikan mereka?
Aku
hanya merasa dengan mabuk aku bisa terbebas dari beban pikiranku. Entah itu
karena keluarga atau pekerjaanku. Tak terasa kini usiaku sudah memasuki usia
pernikahan. Aku tak pernah berharap banyak untuk calon istriku. Aku sendiri
sadar aku hanya seorang pemabuk, jadi aku tak ingin bermimpi terlalu tinggi.
“Wan,
tolong kamu antarkan kue ini ke Pak Haji,” suruh ibuku sore itu.
“Sekarang
Bu?”
“Iya
Wan,” sahutnya.
Ibuku
adalah penjual kue di rumah, banyak tetangga kami yang memesan kue pada ibu untuk
acara hajatannya. Sedangkan ayah hanya seorang petani tadah hujan. Kehidupan
kami biasa saja, layaknya keluarga pada umumnya.
“Assalamu’alaikum,”
kataku begitu sampai di depan pintu.
“Wa’alaikumsalam,”
terdengar suara dari dalam rumah.
Setelah
pintu terbuka, muncul seorang gadis berjilbab warna ungu berdiri di depanku.
Entah mengapa secara tiba-tiba jantungku berdenyut lebih cepat. Aku terpesona
melihat gadis itu.
“Mas.
Mas Wanto, hei,” katanya mengagetkanku.
“Ah,
oh maaf. Ehm ini pesanan kue untuk Pak Haji,” kataku tergagap.
“Oh
terima kasih Mas, masuk dulu Mas.”
“Enggak
usah ah, cuma mau mengantarkan ini saja kok. Kamu Aini kan?”
“Iya
Mas, kenapa?”
“Enggak.
Kaget saja, kok sekarang sudah di rumah.”
“Iya
Mas, aku sudah lulus dari pondok pesantren. Sekarang mau kuliah, jadi ya
tinggal di rumah deh,” katanya sambil tersenyum.
“Oh
begitu ceritanya. Ya sudah aku pulang dulu ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Sejenak
aku lirik Aini yang menutup pintu sebelum aku pergi. Benar-benar cantik
batinku. Dia sudah membuatku jatuh hati seketika itu. Sepanjang perjalanan
pulang aku cengar-cengir tak karuan. Kepalaku penuh khayalan tentang Aini,
gadis berjilbab ungu.
“Kenapa
Wan?” tanya ibu sesampainya di rumah.
“Enggak
kok Bu,” kataku tersipu malu.
“Ketemu
Aini ya?” tanya ibu. Mendengarnya aku hanya bisa garuk-garuk kepala tak sanggup
menjawab. Malu rasanya jika ibu sampai tahu apa yang sedang aku rasakan.
“Dia
cantik ya, Ibu jadi ingin punya menantu seperti dia.” Tersentak jantungku
mendengar pengakuan ibu. Dengan segera aku pergi menuju kamarku, itu lebih baik
daripada aku salah tingkah di depan ibu.
Begitu
memasuki kamarku rasanya seperti terhempas ke bumi setelah aku terbang tinggi. Aku
lihat kamarku dengan seksama, tidak ada satu pun yang menunjukkan ke Islamanku.
Yang ada hanya berbagai aib terpampang di hadapanku
Apa
aku pantas mencintai anak Pak Haji? Siapa aku ini, hanya seorang pemabuk setiap
malam. Aini lulusan pesantren, pasti pandai mengaji. Sedangkan aku, juz ‘amma
saja tidak bisa membacanya. Berbagai pertanyaan menghantuiku seketika itu.
Aku
tertunduk diam mulai mengingat dosa-dosaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Sudah
berapa tahun aku lewati dalam kelalaian. Kini ketika aku telah jatuh hati,
ketika orang lain bahagia karena cintanya, justru rasa sakit yang aku rasakan.
Bimbang tentang nasib cintaku ini.
Hingga
aku putuskan bahwa hari ini adalah hari kematian Wanto yang dulu, dan kelahiran
Wanto yang baru. Aku akan memantaskan diriku untuk Aini. Aku akan
memperjuangkan cintaku pada Aini. Untuk pertama kalinya aku sholat dengan penuh
perasaan hingga aku menangis tersedu-sedu mengingat dosa-dosaku.
Perubahan
diriku mulai nampak hari demi hari. Ayahku kembali berbicara padaku setelah
mendiamkanku karena bosan menasehatiku. Ibuku semakin bahagia melihat perubahan
diriku. Hanya teman-temanku saja yang masih usil menggodaku, tapi aku sudah
bertekad aku akan berubah. Alasanku untuk berubah tidak lagi demi Aini, tapi
demi orang tuaku. Aku tak mau terlalu jauh berkhayal tentang Aini. Semua akan
aku lakukan demi kebahagiaan orang tuaku.
“Wan,
kamu sudah saatnya menikah. Sekarang kamu sudah berubah. Kata Ibu kamu jadi
seperti ini karena Aini,” kata ayah.
“Awalnya
memang begitu Yah, tapi sekarang aku sadar. Alasan aku berubah adalah Ayah dan
Ibu. Bukan Aini lagi, aku hanya ingin melihat kalian bangga melihat aku yang
sekarang.”
“Kamu
tidak mau Aini Ayah lamarkan untuk kamu?”
“Tidak
Yah. Aku malu, aku ini siapa. Lebih baik jika sementara ini aku bekerja
sungguh-sungguh demi ayah dan ibu.”
Orang
tuakau bahagia mendengarkan penuturanku. Memang cintaku pada Aini belumlah
hilang sama sekali. Tapi bagiku dia adalah malaikat yang membisikkanku firman
Tuhan secara tidak langsung lewat sikapnya. Dia akan tetap menjadi wanita yang
aku cintai, dan semoga saja aku akan berjodoh dengannya kelak. Duhai Aini, duhai
gadis berjilbab ungu, terima kasih atas kehadiranmu di cerita kehidupanku.
Terima kasih sudah mengubah duniaku, sudah memperkenalkan aku kepada Tuhan
untuk kedua kalinya, walaupun dirimu tak pernah sadar akan cintaku padamu.
Terima kasih Aini.