Terhitung sejak 16 maret engkau hadir. Engkau datang dengan
baumu yang begitu khas. Bau sandal! Dengan terbungkus plastik rapat layaknya
barang mahal melupakan hargamu yang tak sampai mengorbankan Oto Iskandar Di
Nata. Perjumpaan pertama kita tak membuahkan kesan apapun. Sungguh! Aku serius!
Maaf aku mengatakannya, bukan karena aku terpaksa tapi apa
yang harus aku sembunyikan dari dirimu yang selalu setia padaku selama ini.
Sekarang coba ingat kembali, dalam 24 jam waktuku, berapa yang aku habiskan
tanpamu? Baiklah, kita mulai menghitung!
Anggaplah untuk sekali sholat aku butuh waktu lima menit, berarti kita kalikan lima hasilnya dua puluh lima menit. Kemudian, kamu tahu aku tidur dalam sehari rata-rata hanya empat jam. Bagaimana saat aku bekerja? Saat bekerja aku tak pernah lupa membawamu. Apa perkataanku ini benar? Tentu! Karena bukan cuma kamu atau aku, tapi kita yang sama-sama bekerja. Kuliah? Apa kau lupa aku diusir oleh Dosen dari kelas saat aku bersamamu wahai sandalku? Aku meninggalkanmu hanya selama empat jam lebih dua puluh lima menit. Selebihnya aku bersamamu!
Aku setia bersamamu, aku mencintaimu bukan karena dirimu
hadiah ulang tahun, bukan karena warnamu yang kebetulan biru. Bukan karena
kualitas A yang kau miliki, bukan pula karena harga dirimu yang begitu murah.
Apalagi karena bekas dipakai oleh artis entahlah siapa tapi kalau aku boleh
jujur karena aku membutuhkanmu. Aku merawatmu karena aku memang butuh.
Apa kelak jika aku tak butuh lagi, engkau akan aku buang.
Bagaimana pertanyaan itu terlintas? Sejak kapan aku tidak membutuhkanmu?
Bukankah cuma engkau satu-satunya sandalku? Wahai sandalku jangan lagi ragu, cuma
engkau satu-satunya, aku ulangi dengan capslock. SATU-SATUNYA SANDALKU!
Sekarang engkau telah letih bersamaku, ragamu tak lagi utuh.
Aku harus bagaimana? Tuhan menciptakan dua kakiku sedangkan engkau kini telah
setengah sekarat. Bagaimana aku harus bersamamu? Membawamu ke dokter hanya akan
membuatmu semakin terlihat kasihan. Tak cuma aku yang akan iba melihatmu, tapi
mereka juga akan iba melihat kita berdua.
Bukankah kau temanku? Apa kau tega jika ada orang yang
berkata pada temanmu ini, “Din, nih tak pinjemi uang buat beli sandal baru. Kayaknya
kamu enggak mampu deh buat beli sandal baru.” Tega kamu kalau mereka berkata
seperti itu kepadaku? Bukankah kita teman, teman bagai kepompong mengubah ulat
menjadi kupu-kupu. Dan bagaimana aku justru bernyanyi saat aku berusaha
menyadarkanmu tentang apa yang tengah terjadi di antara kita.
Sekarang beristirahatlah. Aku sendiri tak menduga jika tak
sampai dua bulan dirimu akan menemaniku. Aku sudah merawatmu, menjagamu,
memandikanmu. Tak pernah kan aku lemparkan dirimu pada seekor tikus yang sedang
bermain kejar-kejaran? Tak pernah kan aku mengorbankanmu pada anjing yang
bersiap menerjangku? Tak pernah kan aku meminjam badanmu untuk mencabut nyawa
seekor kecoa?
Tapi mungkin memang Tuhan memiliki rencana yang lain pada
kita berdua. Cukup jangan lagi panggil namaku. Aku akan temukan penggantimu.
Mungkin aku akan mengingatmu untuk beberapa waktu tapi aku ingin mengatakan
sebuah kejujuran padamu.
Aku akan melupakanmu setelah beberapa waktu. Aku akan
bersama yang lain dan tak ingat lagi padamu. Maaf, tapi sungguh aku harus
begitu. Aku harus bisa berdiri tanpa terluka, karena aku tak akan diam berdiri
di tempat tapi aku akan berlari. Jadi aku butuh seorang partner yang akan
menggantikan posisimu di sampingku. Aku bangkit dari mengingatmu dan aku
beranjak dari melupakanmu, karena engkau hanyalah sebuah sandal. Sandal biruku!