Dia istriku. Dia istriku yang
melayaniku. Dia istriku yang menjadikanku seorang ayah. Dia istriku yang
menyempurnakan separuh nafasku. Dia istriku yang mengusap punggungku kala
amarah bersemayam dalam dada. Dia istriku yang doa dan air matanya tulus untukku.
Dia istriku, benar dia yang duduk di atas kursi roda. Dia istriku yang aku
cintai dan benar dia istriku, jodoh dunia akhiratku.
Siapa itu? Mengapa anakmu sangat
dekat dengannya? Mengapa ia melambaikan tangan padamu? Mengapa ia selalu
terlihat menunggu kepulanganmu? Saudaramu? Istrimu? Bukankah istrimu meninggal
dalam kecelakaan? Apa kau menikah lagi? Bagaimana kamu menikah dengan wanita
seperti itu? Bagaimana mungkin kamu jatuh cinta pada wanita yang bahkan tidak
bisa melayanimu seperti istrimu terdahulu?
Begitu banyak pertanyaan yang aku
dapati. Bisik-bisik lirih terus mengalir di balik punggung. Terus dan terus aku
tutup telinga dengan tanganku bahkan tangan Tuhan pun aku pinjam untuk
menyumpalnya. Cinta. Ya! Hanya cinta yang membuatku bisa bertahan sekian lama
hingga surat ini di tanganmu.
Wahai engkau yang mereka sebut
sebagai seorang istri, wahai engkau yang bernama Rahma, wahai engkau ibu dari
anak-anak kita, engkau, engkau, engkau dan selalu engkau yang entahlah
bagaimana lagi aku gambarkan rasa cinta ini. Mengapa wajahmu begitu dalam
tertunduk hingga suamimu ini lupa bagaimana wajah istrinya kala ia tersenyum?
Mengapa air matamu selalu berada di belakangku tanpa pernah bisa aku berusaha
untuk sedikit meminta bebanmu?
Inikah istriku? Inikah ia wanita yang aku cinta? Inikah Rahma yang aku
pinang ia dengan penuh ikhlas menerima segala kekurangannya? Apa aku masih
pantas menyebut diriku sebagai suamimu? Suami macam apa aku ini yang tak pernah
bisa menghapus air mata istrinya dengan tangannya sendiri?
Sayang, aku mencintaimu. Harusnya kamu tahu tentang hal itu dan pasti
kamu tak akan meragukannya. Aku mencintaimu tanpa persyaratan sedikitpun. TANPA
SYARAT! Apa pernah aku memintamu untuk suatu hal? Belum, bahkan aku tidak
sempat untuk memintamu memenuhi permintaanku. Aku yakin kau pun sama halnya
denganku, begitu mencintaiku. Hingga tanpa pernah aku meminta engkau sudah
penuhi segala hal itu.
Tapi mengapa, mengapa seolah-olah aku memberimu syarat untuk selalu
seperti wanita lainnya yang mampu berjalan berlenggak-lenggok? Sayang, aku tak
mensyaratkanmu untuk bisa berjalan. Aku tak mensyaratkanmu untuk melayaniku
dengan baik. Aku tak mensyaratkanmu untuk menjadi seperti dirimu yang dulu.
Tidak sayang, TIDAK! Aku tak memberi syarat apapun padamu karena cintaku padamu
tak bersyarat.
Mereka terus menerus bertanya siapa dia, siapa dia, siapa dia? Tiap itu
pula aku jawab dengan suara yang lantang dia istriku. Aku begitu mencintaimu
hingga entah apalagi yang harus aku tulis dalam surat ini untuk bisa menggambarkan
rasa cinta ini.
Aku tahu sayang, aku tahu pasti berat rasanya. Sangat berat bebanmu
hingga kau tak mengijinkan aku ikut memikulnya. Maaf, maafkan suamimu yang
tidak tahu bagaimana sulitnya dirimu. Maafkan suamimu yang tak tahu bagaimana
cara menghibur istrinya. Maafkan suamimu yang membuatmu terkurung dalam
perasaan malu. Maafkan aku.
Aku tulis surat ini untukmu, kala engkau tidur di sampingku dengan
wajah yang begitu menggemaskan seperti biasanya. Aku tak tahu bagaimana mengatakannya
di depanmu, karena mungkin ini malam terakhir bagiku untuk melihat wajahmu. Aku
tinggalkan surat ini untukmu, bukan unuk membuatmu bersedih hati karena
mengingatku tapi untuk membuatmu tersadar bahwa aku ingin istriku yang dulu
kembali.
Bukan istriku yang mampu berjalan tapi istriku yang selalu tersenyum
untuk menenangkan hatiku. Istriku yang selalu tersenyum untuk menyadarkanku
bagaimana masalah itu terasa mudah jika kita selalu bersama. Istriku yang
selalu membuatku tertawa dengan masakannya yang beraneka ragam rasanya. Saat
pagi sangat asin, saat siang agak pedas, saat malam rasanya hambar. Aku pasti
akan sangat merindukan itu di lidahku.
Istriku yang mau menjadi teman bermain caturku walau selalu kalah dan
selalu berkata dengan logatnya yang khas, “Yek, Ayah pasti curang!” Istriku
yang rajin memfoto diriku, entah bagaimana keadaanku saat itu tapi ia tetap
rajin memfotoku. Istriku yang rajin membereskan rak bukuku di kamar bahkan
menemaniku membaca di teras rumah, tempat favoritku.
Istriku yang suka mengamuk saat melihat keadaan rumahnya yang kotor.
Istriku yang lebih memilih sandal jepit daripada sepatu hak tinggi yang membuat
suaminya terlihat pendek. Padahal aku sudah berusaha untuk lebih tinggi lagi,
tapi memang Bunda yang selalu lebih tinggi dari Ayah. Istriku yang selalu
berebut denganku tentang film Indonesia atau India, drama Korea atau Jepang,
lagu pop atau nasyid, dan hal-hal kecil lainnya yang membuat kita layaknya anak
kecil.
Bunda, ayah merindukan itu semua. Masih adakah Rahma yang seperti itu
di dalam diri Bunda? Mungkin Ayah tidak punya waktu di dunia untuk untuk
melihat Bunda berubah setelah membaca surat ini. Tapi Ayah akan berada di sisi
Tuhan, bercengkrama dengan Tuhan, menjelaskan bagaimana rasa terima kasih Ayah
kepada-Nya karena telah menciptakan dan menjodohkan seorang Ilham dengan Rahma.
Yang selalu mencintaimu,
Ilham, suamimu
Hatiku luluh lantak seketika itu.
Aku tak mampu berkata apapun kecuali air mata yang dapat membahasakan bagaimana
rasanya penyesalan itu menghampiri hatiku. Aku telah membuat ia, suamiku,
begitu memikirkanku hingga ia pergi menemui Tuhannya untuk menceritakan
bagaimana ia bisa membuatku tersenyum. Mengapa aku begitu egois tanpa pernah
sedikitpun memikirkan tentang perasaannya padaku.
Aku menangis sejadi-jadinya,
penyesalan yang sudah tak berguna. Ia telah pergi, malam terkahirnya terlewati
tanpa pernah melihat istrinya tersenyum kembali. Aku menyalahkan diriku sendiri
yang tak bisa membahagiakan suamiku sendiri.
Akhir hidupnya dihabiskan dengan
terbaring di tempat tidur rumah sakit. Aku teringat bagaimana ia menyambutku
dengan senyumannya yang begitu khas. “Bunda sudah sholat?” sapanya.
Aku hanya menggeleng dan
mendorong kursi rodaku untuk menemaninya. “Kita jamaah yuk,” pintanya. Aku
hanya mengangguk tanpa firasat apapun bahwa itu adalah sholat isya’ berjamaah
kami yang terakhir. Bacaan suratnya begitu halus dan menenangkan, ia benar
benar laki-laki yang merdu suaranya ketika membaca Al Qur’an
“Bunda, sudah makan?”
“Sudah.”
“Bunda ayah bisa minta tolong?”
“Apa?”
“Ayah mau dengar suara bunda baca
Qur’an, sudah lama ayah tidak mendengarnya.”
Aku tersenyum mendengarnya, ia belum
berubah sama sekali. Dia tetap Ilham suamiku, ia tetap laki-laki yang begitu
bahagia jika berhubungan dengan Tuhannya.
Aku mulai membaca surat lukman,
surat favoritnya. Surat yang menginspirasinya untuk memberi nama anak kami sebagai
Lukman. Ia memejamkan matanya mendengar aku membacakannya ayat demi ayat. Dia sudah
tertidur pikirku, aku segera menghentikan bacaanku dan tertidur di sampingnya
seperti malam-malam sebelumnya.
Suara adzan subuh terdengar dari
kejauhan. Aku terjaga dan mendapati tubuhku telah berselimutkan kain dari rumah
sakit. Pasti suamiku yang meminta suster melakukan semua ini. Aku segera
membangunkan suamiku untuk sholat subuh. Jika dahulu ia yang sangat rajin
membangunkanku kini semua berubah sejak ia masuk rumah sakit. Sekali ku panggil
ia tak menjawab, aku dekatkan bibirku ke telinganya dan ku panggil lagi namanya
pelan. Tak juga ia membuka matanya, aku goyangkan tangannya ia masih saja
terdiam.
Muncul kekhawatiran di hatiku
siapa yang telah berkunjung ke ruangan ini, apakah utusan Allah telah
berkunjung kemari? Aku panik seketika itu, di tengah ke panikkanku aku temukan
sepucuk surat di samping bantalnya. Untuk
Istriku Rahma, tulisnya.
Tak ku gubris surat itu, aku segera
memanggil suster hingga di depan mataku langsung ia dikabarkan padaku telah
berpulang. Aku dorong kursi rodaku mendekatinya, aku cium wajahnya untuk
terakhir kalinya, aku tangisi ke pergiannya, aku peluk tubuhnya. Hingga aku
teringat akan surat itu dan segalanya menjadi takdir dari Tuhan.
Ilham cintaku, suamiku, ayah dari
Lukman putra kita, tak ku tahan perjumpaanmu dengan Tuhan. Ku relakan engkau
dengan ikhlas, ku doakan engkau. Engkau yang telah menggantikan kedua kakiku,
selalu tertawa ketika menggendongku. Selalu memanjakan diriku dengan tingkah
lakumu, tidak mungkin aku tidak merasa kehilangan dirimu duhai kekasihku.
Ilham, terima kasih atas cintamu
padaku. Terima kasih atas surat cintamu. Engkau laki-laki yang tak keras
suaranya terhadap wanita, engkau laki-laki yang tangannya halus melayani
wanita, engkau laki-laki yang berdiri di depan dan membimbingku, engkau laki-laki
yang berbalik memperlihatkan punggung saat engkau menangis.
Sayang, bagaimana aku melupakan
semua itu, tidak akan pernah terlupa bagaimana kisah cinta kita terjadi. Karena
aku mencintaimu, dan tunggu aku yang mencintaimu.