Web Hosting

Selasa, 19 Mei 2015

Untuk Istriku

Untuk Istriku
            Dia istriku. Dia istriku yang melayaniku. Dia istriku yang menjadikanku seorang ayah. Dia istriku yang menyempurnakan separuh nafasku. Dia istriku yang mengusap punggungku kala amarah bersemayam dalam dada. Dia istriku yang doa dan air matanya tulus untukku. Dia istriku, benar dia yang duduk di atas kursi roda. Dia istriku yang aku cintai dan benar dia istriku, jodoh dunia akhiratku.


            Siapa itu? Mengapa anakmu sangat dekat dengannya? Mengapa ia melambaikan tangan padamu? Mengapa ia selalu terlihat menunggu kepulanganmu? Saudaramu? Istrimu? Bukankah istrimu meninggal dalam kecelakaan? Apa kau menikah lagi? Bagaimana kamu menikah dengan wanita seperti itu? Bagaimana mungkin kamu jatuh cinta pada wanita yang bahkan tidak bisa melayanimu seperti istrimu terdahulu?


            Begitu banyak pertanyaan yang aku dapati. Bisik-bisik lirih terus mengalir di balik punggung. Terus dan terus aku tutup telinga dengan tanganku bahkan tangan Tuhan pun aku pinjam untuk menyumpalnya. Cinta. Ya! Hanya cinta yang membuatku bisa bertahan sekian lama hingga surat ini di tanganmu.


            Wahai engkau yang mereka sebut sebagai seorang istri, wahai engkau yang bernama Rahma, wahai engkau ibu dari anak-anak kita, engkau, engkau, engkau dan selalu engkau yang entahlah bagaimana lagi aku gambarkan rasa cinta ini. Mengapa wajahmu begitu dalam tertunduk hingga suamimu ini lupa bagaimana wajah istrinya kala ia tersenyum? Mengapa air matamu selalu berada di belakangku tanpa pernah bisa aku berusaha untuk sedikit meminta bebanmu?


Inikah istriku? Inikah ia wanita yang aku cinta? Inikah Rahma yang aku pinang ia dengan penuh ikhlas menerima segala kekurangannya? Apa aku masih pantas menyebut diriku sebagai suamimu? Suami macam apa aku ini yang tak pernah bisa menghapus air mata istrinya dengan tangannya sendiri?


Sayang, aku mencintaimu. Harusnya kamu tahu tentang hal itu dan pasti kamu tak akan meragukannya. Aku mencintaimu tanpa persyaratan sedikitpun. TANPA SYARAT! Apa pernah aku memintamu untuk suatu hal? Belum, bahkan aku tidak sempat untuk memintamu memenuhi permintaanku. Aku yakin kau pun sama halnya denganku, begitu mencintaiku. Hingga tanpa pernah aku meminta engkau sudah penuhi segala hal itu.


Tapi mengapa, mengapa seolah-olah aku memberimu syarat untuk selalu seperti wanita lainnya yang mampu berjalan berlenggak-lenggok? Sayang, aku tak mensyaratkanmu untuk bisa berjalan. Aku tak mensyaratkanmu untuk melayaniku dengan baik. Aku tak mensyaratkanmu untuk menjadi seperti dirimu yang dulu. Tidak sayang, TIDAK! Aku tak memberi syarat apapun padamu karena cintaku padamu tak bersyarat.


Mereka terus menerus bertanya siapa dia, siapa dia, siapa dia? Tiap itu pula aku jawab dengan suara yang lantang dia istriku. Aku begitu mencintaimu hingga entah apalagi yang harus aku tulis dalam surat ini untuk bisa menggambarkan rasa cinta ini.


Aku tahu sayang, aku tahu pasti berat rasanya. Sangat berat bebanmu hingga kau tak mengijinkan aku ikut memikulnya. Maaf, maafkan suamimu yang tidak tahu bagaimana sulitnya dirimu. Maafkan suamimu yang tak tahu bagaimana cara menghibur istrinya. Maafkan suamimu yang membuatmu terkurung dalam perasaan malu. Maafkan aku.


Aku tulis surat ini untukmu, kala engkau tidur di sampingku dengan wajah yang begitu menggemaskan seperti biasanya. Aku tak tahu bagaimana mengatakannya di depanmu, karena mungkin ini malam terakhir bagiku untuk melihat wajahmu. Aku tinggalkan surat ini untukmu, bukan unuk membuatmu bersedih hati karena mengingatku tapi untuk membuatmu tersadar bahwa aku ingin istriku yang dulu kembali.


Bukan istriku yang mampu berjalan tapi istriku yang selalu tersenyum untuk menenangkan hatiku. Istriku yang selalu tersenyum untuk menyadarkanku bagaimana masalah itu terasa mudah jika kita selalu bersama. Istriku yang selalu membuatku tertawa dengan masakannya yang beraneka ragam rasanya. Saat pagi sangat asin, saat siang agak pedas, saat malam rasanya hambar. Aku pasti akan sangat merindukan itu di lidahku.


Istriku yang mau menjadi teman bermain caturku walau selalu kalah dan selalu berkata dengan logatnya yang khas, “Yek, Ayah pasti curang!” Istriku yang rajin memfoto diriku, entah bagaimana keadaanku saat itu tapi ia tetap rajin memfotoku. Istriku yang rajin membereskan rak bukuku di kamar bahkan menemaniku membaca di teras rumah, tempat favoritku.


Istriku yang suka mengamuk saat melihat keadaan rumahnya yang kotor. Istriku yang lebih memilih sandal jepit daripada sepatu hak tinggi yang membuat suaminya terlihat pendek. Padahal aku sudah berusaha untuk lebih tinggi lagi, tapi memang Bunda yang selalu lebih tinggi dari Ayah. Istriku yang selalu berebut denganku tentang film Indonesia atau India, drama Korea atau Jepang, lagu pop atau nasyid, dan hal-hal kecil lainnya yang membuat kita layaknya anak kecil.


Bunda, ayah merindukan itu semua. Masih adakah Rahma yang seperti itu di dalam diri Bunda? Mungkin Ayah tidak punya waktu di dunia untuk untuk melihat Bunda berubah setelah membaca surat ini. Tapi Ayah akan berada di sisi Tuhan, bercengkrama dengan Tuhan, menjelaskan bagaimana rasa terima kasih Ayah kepada-Nya karena telah menciptakan dan menjodohkan seorang Ilham dengan Rahma.


Yang selalu mencintaimu,

Ilham, suamimu


Hatiku luluh lantak seketika itu. Aku tak mampu berkata apapun kecuali air mata yang dapat membahasakan bagaimana rasanya penyesalan itu menghampiri hatiku. Aku telah membuat ia, suamiku, begitu memikirkanku hingga ia pergi menemui Tuhannya untuk menceritakan bagaimana ia bisa membuatku tersenyum. Mengapa aku begitu egois tanpa pernah sedikitpun memikirkan tentang perasaannya padaku.


Aku menangis sejadi-jadinya, penyesalan yang sudah tak berguna. Ia telah pergi, malam terkahirnya terlewati tanpa pernah melihat istrinya tersenyum kembali. Aku menyalahkan diriku sendiri yang tak bisa membahagiakan suamiku sendiri.


Akhir hidupnya dihabiskan dengan terbaring di tempat tidur rumah sakit. Aku teringat bagaimana ia menyambutku dengan senyumannya yang begitu khas. “Bunda sudah sholat?” sapanya.


Aku hanya menggeleng dan mendorong kursi rodaku untuk menemaninya. “Kita jamaah yuk,” pintanya. Aku hanya mengangguk tanpa firasat apapun bahwa itu adalah sholat isya’ berjamaah kami yang terakhir. Bacaan suratnya begitu halus dan menenangkan, ia benar benar laki-laki yang merdu suaranya ketika membaca Al Qur’an


“Bunda, sudah makan?”


“Sudah.”


“Bunda ayah bisa minta tolong?”


“Apa?”


“Ayah mau dengar suara bunda baca Qur’an, sudah lama ayah tidak mendengarnya.”


Aku tersenyum mendengarnya, ia belum berubah sama sekali. Dia tetap Ilham suamiku, ia tetap laki-laki yang begitu bahagia jika berhubungan dengan Tuhannya.


Aku mulai membaca surat lukman, surat favoritnya. Surat yang menginspirasinya untuk memberi nama anak kami sebagai Lukman. Ia memejamkan matanya mendengar aku membacakannya ayat demi ayat. Dia sudah tertidur pikirku, aku segera menghentikan bacaanku dan tertidur di sampingnya seperti malam-malam sebelumnya.


Suara adzan subuh terdengar dari kejauhan. Aku terjaga dan mendapati tubuhku telah berselimutkan kain dari rumah sakit. Pasti suamiku yang meminta suster melakukan semua ini. Aku segera membangunkan suamiku untuk sholat subuh. Jika dahulu ia yang sangat rajin membangunkanku kini semua berubah sejak ia masuk rumah sakit. Sekali ku panggil ia tak menjawab, aku dekatkan bibirku ke telinganya dan ku panggil lagi namanya pelan. Tak juga ia membuka matanya, aku goyangkan tangannya ia masih saja terdiam.


Muncul kekhawatiran di hatiku siapa yang telah berkunjung ke ruangan ini, apakah utusan Allah telah berkunjung kemari? Aku panik seketika itu, di tengah ke panikkanku aku temukan sepucuk surat di samping bantalnya. Untuk Istriku Rahma, tulisnya.


Tak ku gubris surat itu, aku segera memanggil suster hingga di depan mataku langsung ia dikabarkan padaku telah berpulang. Aku dorong kursi rodaku mendekatinya, aku cium wajahnya untuk terakhir kalinya, aku tangisi ke pergiannya, aku peluk tubuhnya. Hingga aku teringat akan surat itu dan segalanya menjadi takdir dari Tuhan.


Ilham cintaku, suamiku, ayah dari Lukman putra kita, tak ku tahan perjumpaanmu dengan Tuhan. Ku relakan engkau dengan ikhlas, ku doakan engkau. Engkau yang telah menggantikan kedua kakiku, selalu tertawa ketika menggendongku. Selalu memanjakan diriku dengan tingkah lakumu, tidak mungkin aku tidak merasa kehilangan dirimu duhai kekasihku.


Ilham, terima kasih atas cintamu padaku. Terima kasih atas surat cintamu. Engkau laki-laki yang tak keras suaranya terhadap wanita, engkau laki-laki yang tangannya halus melayani wanita, engkau laki-laki yang berdiri di depan dan membimbingku, engkau laki-laki yang berbalik memperlihatkan punggung saat engkau menangis.


Sayang, bagaimana aku melupakan semua itu, tidak akan pernah terlupa bagaimana kisah cinta kita terjadi. Karena aku mencintaimu, dan tunggu aku yang mencintaimu.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar