Web Hosting

Senin, 08 Juni 2015

Waktu Yang Tersia-siakan

Waktu Yang Tersia-siakan
Al Hasan Bashri mengungkapkan:
“Aku mendapatkan sekelompok orang yang lebih kikir atas usianya, daripada kekikirannya terhadap uangnya.”

Semenjak kemarin sore, anakku yang masih kecil dalam kondisi yang tidak diharapkan. Sepulang kerja sore hari ini, aku sudah menetapkan untuk segera pergi ke rumah sakit, meki tubuhku sudah amat lelah. Namun bersusah payah untuk kepentingannya adalah kesenangan.

Aku membawanya dan aku pergi. Banyak juga pasien yang menunggu. Kemungkinan kami terlambat sekitar satu jam. Aku segera mengambil kartu masuk untuk menemui dokter, dan segera menuju ruang tunggu.

Ada banyak raut wajah yang bermacam-macam. Anak kecil, juga orang dewasa. Semuanya diam tercekam. Ada beberapa notes kecil yang disimpan sebagian rekan kami.

Aku melirik ke arah orang-orang yang hadir di situ. Ada yang memejamkan mata, tidak jelas apa yang dipikirkan.

Sebagian ada yang mengikuti pandangan orang-orang di sekitarnya. Sebagian lagi terlihat di wajah mereka kegelisahan dan rasa bosan menunggu.

Suasana hening berlangsung lama. Terdengar suara memanggil, “Pasien nomor sekian….” Terlihat kegembiraan di wajah orang yang dipanggil. Dengan langkah ringan ia berjalan cepat, kemudian kembali terjadi keheningan.

Pandanganku tertuju kepada seorang pemuda tanggung. Ia tidak mempedulikan segala yang ada di sekitarnya. Ia membawa sebuah mushaf saku kecil yang terus dibacanya. Tidak menoleh sedikitpun. Aku memandanginya, tanpa banyak memikirkan kondisinya. Namun setelah lama menunggu selama satu jam penuh, pandanganku kepadanya berubah menjadi pikiran yang mendalam terhadap gaya hidup pemuda itu dan kegigihannya memelihara waktu.

Satu jam berlalu dari umurku. Apa yang telah ku manfaatkan darinya. Aku hanya menganggur tanpa kerja apa-apa. Hanya menunggu hingga bosan.

Terdengarlah adzan berkumandang untuk shalat maghrib, kami pun pergi shalat. Di mushala rumah sakit, aku berusaha untuk berada di samping pemuda yang membawa mushaf tadi. Usai shalat, aku berjalan bersamanya dan ku beritahukan langsung ketertarikan diriku terhadap kemahirannya dalam menjaga waktunya.

Perkataannya difokuskan seputar banyak waktu yang belum kita manfaatkan secara optimal. Yakni siang dan malam yang berlalu dari umur kita, tanpa kita merasakan atau menyesalinya.

Pemuda itu berkata, bahwa ia baru mulai membawa mushaf saku itu semenjak satu tahun terakhir ini saja. Yakni semenjak ia dinasehati oleh salah seorang rekannya agar ia menjaga waktu. Pemuda itu juga mengabarkan bahwa ia biasa membaca Al Qur’an di waktu-waktu yang banyak tidak dimanfaatkan orang, lebih dari yang dia baca di masjid atau di rumah. Bahkan dengan membaca Al Qur’an itu, disamping memberi tambahan pahala dari Allah, juga menghilangkan kejemuan dan rasa bosan. Ia menambahkan, bahwa sudah berada di ruang tunggu itu semenjak lebih dari satu setengah jam.

Ia bertanya kepadaku, “Kapan lagi Anda bisa mendapatkan waktu satu setengah jam untuk membaca Al Qur’an?”

Aku merenung, bertanya pada diriku, “Berapa banyak dari waktu-waktu yang berlalu sia-sia? Berapa dari umurmu berlalu, tanpa bisa diberi hitungan pahala sama sekali? Bahkan sudah berapa bulan kau biarkan lewat begitu saja tanpa membaca Al Qur’an?”

Aku melihat diriku sendiri. Ku dapati bahwa terus dihisab, sementara aku sudah tidak mempunyai waktu lagi. Sampai kapan aku akan menunggu?

Pikiranku dipecah oleh suara panggilan. Aku pun pergi menemui dokter. Aku ingin memanfaatkan waktu sekarang. Setelah keluar dari rumah sakit, aku segera pergi ke took buku dan membeli mushaf Al Qur’an kecil.

Aku menetapkan untuk selalu menjaga waktuku. Sambil meletakkan mushaf  di sakuku aku berpikir, “Berapa banyak orang yang akan melakukan perbuatan serupa? Dan berapa banyak pahala yang diperoleh oleh orang yang menunjukkan kepada perbuatan tersebut?”

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar