Web Hosting

Minggu, 03 Mei 2015

Monster Pembawa Gunting

Monster Pembawa Gunting

“Yah gondrong.” Batinku saat aku memakai seragam sekolah sambil melihat kaca. Aku usap rambutku, memang benar gondrong rupanya. Alamat ibu akan ‘menyanyi’ kalau tahu begini. Aku sisir rapi rambutku, klimis. Dengan harapan ibu tidak akan tahu sudah seberapa panjang rambutku. Aku berjalan pelan keluar kamarku sambil sesekali tengok kanan kiri mencari ibuku. Layaknya tentara tengah melakukan penyergapan di wilayah musuh yang berbahaya dan menentukan nasib, hidup atau mati.


Sepertinya aman pikirku, ibu tidak terlihat sejauh mataku memandang. Apa mungkin ke pasar? Rasanya tidak mungkin, itu bukan kebiasaan ibu pergi ke pasar jam segini. Aku terus berjalan menuju meja makan dengan tetap siaga penuh. Aku lihat sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk sudah tersedia. Di sampingnya ada sebuah memo dari ibu rupanya. Ibu ke tetangga sebelah, ada keperluan. Selesai sarapan sekalian di cuci piringnya. Kunci pintu taruh di tempat biasanya.

Rasanya seperti berhasil ke toilet setelah menahan air kencing saat sholat, lega. Aku bisa sedikit tersenyum membaca memo dari ibu. Untuk sementara aman, pikirku. Aku berangkat sekolah dengan mood yang bagus hari ini. Terhindar dari suara ibu di pagi hari rupanya memiliki efek yang luar biasa.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, jantung mulai berpacu kembali. Pak Sri berdiri di depan gerbang, tumben sekali, ada apa ini? Apa sedang razia kerapian? Bagaimana ini, lolos di rumah rupanya tak menjadi jaminan aku lolos di sekolah. Ingin rasanya menunggu Pak Sri sampai Pak Sri pergi dari pintu gerbang, tapi berapa lama? Aku pura-pura menunggu temanku di samping pintu gerbang, sambil mencari ide untuk melewati mata Pak Sri. Aku tengok ke kanan, ke kiri, percuma saja. Tidak ada jalan masuk lain kecuali harus lewat di depan Pak Sri.

Di tengah ke pasrahanku, tiba-tiba dari kejauhan aku lihat segerombolan anak-anak sekolahku tengah menuju gerbang. Beruntungnya aku hari ini, sebuah ide muncul ketika melihat geromboan itu. Aku mencoba masuk ke tengah-tengah gerombolan itu, aku tidak peduli lagi mereka siapa selama aku selamat. Semakin dekat, semakin dekat dan semakin berdegup pula detak jantungku.

“Selamat pagi Pak,” kata kami serentak.

“Pagi,” sahutnya pendek.

Aku lirik wajahnya sedikit, acuh tak memperhatikan kami. Nyaris saja aku memilih untuk bolos tadi. Hari ini Tuhan masih menyertaiku rupanya. Sekolah berjalan seperti biasanya, tidak pernah ada yang istimewa. ‘oleh-oleh’ berupa PR selalu menjadi agenda wajib bagi kami. Pacaran, rasanya menjadi kata terlarang di telingaku, untuk apa pikirku. Aku selalu sibuk dengan berbagai game yang aku miliki, karena aku seorang gamer.

Selesai sekolah aku bersiap-siap menghadapi ‘musuh’ utama di rumah, ibu. Bagaimanapun juga aku harus mempersiapkan alasan yang tepat dan ibu tidak akan bisa menyangkalnya. Setibanya di rumah aku kembali ke mode siaga penuh. Mencoba tak banyak menimbulkan suara. Aneh kok rumah sepi, ibu kemana? Batinku setelah aku lihat ke dalam.

“Maling.”

Aku terpenjat mendengar teriakan ibuku di belakangku. Aku pegangi dadaku menenangkan jantungku yang hampir copot.

“Masuk rumah itu pakai salam. Kalau tidak ya namanya maling, Ibu enggak salahkan teriakin kamu maling?”

“Tapi ya jangan dari belakang Bu. Aku kan kaget.”

“Salah sendiri gaya-gayaan pakai ngendap-endap segala.”

“Iya, Aku yang salah. Aku masuk kamar dulu ya Bu,” kataku malas.

“Eh, tunggu dulu. Sini dulu.”

Rasanya jantungku berhenti mendengar kata-kata ibu. Kalau aku bisa berlari menuju kamar pasti akan aku lakukan. Tetapi, percuma aku lakukan semua itu. Ibu tidak akan melepaskan ‘mangsanya’ dengan mudah. Sebenarnya ada apa, apa yang mau ibu bicarakan. Aku putar tubuhku menghadapnya, aku tarik nafas panjang menenangkan jantungku yang gagal berdenyut normal.

“Rambut kamu sudah gondrong sepertinya ya?”

“Ah, eng…enggak kok Bu, pendek ini. Cuma perasaan Ibu aja kali,” kataku tergagap.

“Mulai lagi deh. Kamu kenapa sih setiap kali disuruh potong rambut pasti ada saja alesannya. Masih takut? Sudah besar begini masih takut potong rambut, enggak malu sama pacar kamu?”

“Kapan aku punya pacar Bu?”

“Oh iya, belum pernah ya. Ya ampun, sorry Ibu lupa. Pokoknya nanti malam kamu potong rambut. Enggak pakai tapi-tapian, Ibu mau besok pagi kamu sudah pendek rambutnya.”

“Yah, Bu…,” kataku setengah memelas.

“Itu kan dulu sayang. Mau sampai kapan kamu takut potong rambut? Kamu mungkin masih trauma gara-gara dulu kulit kamu sampai berdarah, tapi mau sampai kapan trauma itu berlanjut? Kamu sudah besar sekarang, lagipula tidak ada cewek yang suka cowok berantakan. Cewek itu sukanya cowok yang rapi, makanya sampai sekarang kamu belum punya pacar gara-gara takut potong rambut. Emang kamu mau jadi jomblo seumur hidup? Enggak mau kan, makanya potong rambut kamu.”

Hanya sebuah anggukan yang bisa aku lakukan. Bagaimanapun juga masih terbesit rasa takut di benakku jika ingat kejadian saat aku mash kecil dulu. Saat aku potong rambut dan tanpa sengaja aku menggerakkan kepala hingga akhirnya kepalaku berdarah terkena pisau cukur. Merinding aku mengingat semua itu. Seusai sholat ashar, satu doa yang terus menerus aku panjatkan, “Tuhan, beri aku keberanian, beri aku keberanian, beri aku keberanian. Amin.”

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar