“Yah
gondrong.” Batinku saat aku memakai seragam sekolah sambil melihat kaca. Aku
usap rambutku, memang benar gondrong rupanya. Alamat ibu akan ‘menyanyi’ kalau
tahu begini. Aku sisir rapi rambutku, klimis. Dengan harapan ibu tidak akan
tahu sudah seberapa panjang rambutku. Aku berjalan pelan keluar kamarku sambil
sesekali tengok kanan kiri mencari ibuku. Layaknya tentara tengah melakukan
penyergapan di wilayah musuh yang berbahaya dan menentukan nasib, hidup atau
mati.
Sepertinya
aman pikirku, ibu tidak terlihat sejauh mataku memandang. Apa mungkin ke pasar?
Rasanya tidak mungkin, itu bukan kebiasaan ibu pergi ke pasar jam segini. Aku
terus berjalan menuju meja makan dengan tetap siaga penuh. Aku lihat sepiring
nasi lengkap dengan sayur dan lauk sudah tersedia. Di sampingnya ada sebuah
memo dari ibu rupanya. Ibu ke tetangga sebelah, ada keperluan. Selesai
sarapan sekalian di cuci piringnya. Kunci pintu taruh di tempat biasanya.
Rasanya
seperti berhasil ke toilet setelah menahan air kencing saat sholat, lega. Aku
bisa sedikit tersenyum membaca memo dari ibu. Untuk sementara aman, pikirku.
Aku berangkat sekolah dengan mood yang bagus hari ini. Terhindar dari
suara ibu di pagi hari rupanya memiliki efek yang luar biasa.
Sesampainya
di depan gerbang sekolah, jantung mulai berpacu kembali. Pak Sri berdiri di
depan gerbang, tumben sekali, ada apa ini? Apa sedang razia kerapian? Bagaimana
ini, lolos di rumah rupanya tak menjadi jaminan aku lolos di sekolah. Ingin
rasanya menunggu Pak Sri sampai Pak Sri pergi dari pintu gerbang, tapi berapa
lama? Aku pura-pura menunggu temanku di samping pintu gerbang, sambil mencari
ide untuk melewati mata Pak Sri. Aku tengok ke kanan, ke kiri, percuma saja.
Tidak ada jalan masuk lain kecuali harus lewat di depan Pak Sri.
Di
tengah ke pasrahanku, tiba-tiba dari kejauhan aku lihat segerombolan anak-anak
sekolahku tengah menuju gerbang. Beruntungnya aku hari ini, sebuah ide muncul
ketika melihat geromboan itu. Aku mencoba masuk ke tengah-tengah gerombolan
itu, aku tidak peduli lagi mereka siapa selama aku selamat. Semakin dekat,
semakin dekat dan semakin berdegup pula detak jantungku.
“Selamat
pagi Pak,” kata kami serentak.
“Pagi,”
sahutnya pendek.
Aku
lirik wajahnya sedikit, acuh tak memperhatikan kami. Nyaris saja aku memilih
untuk bolos tadi. Hari ini Tuhan masih menyertaiku rupanya. Sekolah berjalan
seperti biasanya, tidak pernah ada yang istimewa. ‘oleh-oleh’ berupa PR selalu
menjadi agenda wajib bagi kami. Pacaran, rasanya menjadi kata terlarang di
telingaku, untuk apa pikirku. Aku selalu sibuk dengan berbagai game yang
aku miliki, karena aku seorang gamer.
Selesai
sekolah aku bersiap-siap menghadapi ‘musuh’ utama di rumah, ibu. Bagaimanapun
juga aku harus mempersiapkan alasan yang tepat dan ibu tidak akan bisa
menyangkalnya. Setibanya di rumah aku kembali ke mode siaga penuh.
Mencoba tak banyak menimbulkan suara. Aneh kok rumah sepi, ibu kemana? Batinku
setelah aku lihat ke dalam.
“Maling.”
Aku
terpenjat mendengar teriakan ibuku di belakangku. Aku pegangi dadaku
menenangkan jantungku yang hampir copot.
“Masuk
rumah itu pakai salam. Kalau tidak ya namanya maling, Ibu enggak salahkan
teriakin kamu maling?”
“Tapi
ya jangan dari belakang Bu. Aku kan kaget.”
“Salah
sendiri gaya-gayaan pakai ngendap-endap segala.”
“Iya,
Aku yang salah. Aku masuk kamar dulu ya Bu,” kataku malas.
“Eh,
tunggu dulu. Sini dulu.”
Rasanya
jantungku berhenti mendengar kata-kata ibu. Kalau aku bisa berlari menuju kamar
pasti akan aku lakukan. Tetapi, percuma aku lakukan semua itu. Ibu tidak akan
melepaskan ‘mangsanya’ dengan mudah. Sebenarnya ada apa, apa yang mau ibu
bicarakan. Aku putar tubuhku menghadapnya, aku tarik nafas panjang menenangkan
jantungku yang gagal berdenyut normal.
“Rambut
kamu sudah gondrong sepertinya ya?”
“Ah,
eng…enggak kok Bu, pendek ini. Cuma perasaan Ibu aja kali,” kataku tergagap.
“Mulai
lagi deh. Kamu kenapa sih setiap kali disuruh potong rambut pasti ada saja
alesannya. Masih takut? Sudah besar begini masih takut potong rambut, enggak
malu sama pacar kamu?”
“Kapan
aku punya pacar Bu?”
“Oh
iya, belum pernah ya. Ya ampun, sorry Ibu lupa. Pokoknya nanti malam
kamu potong rambut. Enggak pakai tapi-tapian, Ibu mau besok pagi kamu sudah
pendek rambutnya.”
“Yah,
Bu…,” kataku setengah memelas.
“Itu
kan dulu sayang. Mau sampai kapan kamu takut potong rambut? Kamu mungkin masih
trauma gara-gara dulu kulit kamu sampai berdarah, tapi mau sampai kapan trauma
itu berlanjut? Kamu sudah besar sekarang, lagipula tidak ada cewek yang suka
cowok berantakan. Cewek itu sukanya cowok yang rapi, makanya sampai sekarang
kamu belum punya pacar gara-gara takut potong rambut. Emang kamu mau jadi
jomblo seumur hidup? Enggak mau kan, makanya potong rambut kamu.”
Hanya
sebuah anggukan yang bisa aku lakukan. Bagaimanapun juga masih terbesit rasa
takut di benakku jika ingat kejadian saat aku mash kecil dulu. Saat aku potong
rambut dan tanpa sengaja aku menggerakkan kepala hingga akhirnya kepalaku
berdarah terkena pisau cukur. Merinding aku mengingat semua itu. Seusai sholat
ashar, satu doa yang terus menerus aku panjatkan, “Tuhan, beri aku keberanian,
beri aku keberanian, beri aku keberanian. Amin.”