Web Hosting

Sabtu, 20 Juni 2015

Rahasiaku

Rahasiaku
Aku tak bisa lagi. Ia memaksa keluar dari setiap sudut mataku. Ia mengetuk mata yang tertutup rapat. Tanpa pernah bisa aku berkata, ia bahkan tak mengijinkanku untuk mengusapnya. Aku tertunduk membiarkan tiap tetesnya jatuh berlinang.

Aku paksakan mata ini terbuka. Aku tatap ia dengan mata yang sayu. Aku usap mataku, dan tak kunjung reda ia menetes. Tampak ia ikut merasakan kesedihanku. Tatapan ibanya benar-benar aku terima tanpa penolakan. “Aku mohon!” sedikit memaksa bibirku berkata.

Ia tetap menggeleng. “Aku masih mencintainya, seperti apa yang kau ungkapkan. Tapi aku tak tahu bagaimana aku harus memulai.”

“Datanglah ke rumah sakit. Hadirkan kembali Bilal yang dulu pada tubuh yag terbaring di sana.”

Ia bungkam. Ia membisu dalam kebimbangannya. Ia ragu akan keputusan dan hidup yang telah berlalu. Tatapannya jauh ke depan, seolah mengingat kembali masa-masa indah cintanya. Termenung ia tak bergeming, hanya itu yang terlihat.

“Kau pun pasti tahu, aku mencintai Bilal. Jauh sebelum dirimu hadir.” Ia menoleh ke arahku, dan ku dapatkan perhatian darinya. Aku bongkar rahasiaku yang tersimpan rapat, aku jawab pertanyaannya yang tak dapat tersampaikan olehnya. “Bilal adalah sahabatku sewaktu kecil. Ia sangat pintar, jauh berbeda denganku. Dulu aku sangat sering memintanya mengerjakan tugas sekolahku. Dan sebagai imbalannya aku akan membelikannya cemilan kesukaannya. Menyenangkan!

Bahkan hingga sekarang aku masih sering meminta tolong untuk tugasku. Aku hebat dalam olahraga, dan itu yang membuatnya tidak melihatku sebagai seorang wanita. Baginya aku adalah kakaknya yang akan melindunginya. Aku tahu ia suka dengan segala hal yang berbau Jepang, aku tahu ia suka film India yang dibintangi Shahrukh Khan, aku tahu ia sering menangis saat melihat drama Korea, walau ia berlagak jantan.

Aku tahu ia sangat suka nasi goreng, aku tahu ia suka warna biru, aku tahu ia suka minum kopi, aku tahu ia selalu tidur pukul sepuluh malam, aku tahu ia akan terbangun pada pukul tiga untuk shalat tahajud. Aku tahu ia ingin menjadi seorang pengacara dan akan mengambil kuliah jurusan hukum, aku tahu kapan pertama kali ia mengenakan kaca mata.

Aku tahu wanita idamannya. Dia tak akan melihatnya secara fisik, tapi ia akan merasakan apa yang ia rasakan. “Saat hatiku bergetar, dialah wanita idaman itu.” Itu yang ia katakan. Aku tahu, tahu, tahu, dan tahu. Aku tahu segalanya, segala hal tentangnya jauh dari apa yang kau ketahui tentangnya.

Aku merasa iri jika melihatmu, cantik, pintar dalam berbagai mata pelajaran, ketua Palang Merah Remaja, sekretaris Rohis dan OSIS, aku iri melihatmu. Yang bisa ku lakukan hanya membanting seseorang ke tanah dan menggenggam sabuk hitam tanpa pernah bisa menggenggam hati orang yang aku cintai selama ini.

“Tapi….”

“Aku tak memberi syarat apapun pada cinta ini. Aku tak mensyaratkan ia untuk mencintaiku. Aku tak mensyaratkan ia berada di sampingku, hanya melihatnya bahagia dan tertawa, aku rasa aku akan bahagia melihatnya seperti itu. Lalu, yang ku tahu ia benar-benar hidup saat tertawa bersamamu, saat menangis bersamamu. Ia hidup, ia tertawa seperti manusia. Tolong jangan tinggalkan ia, karena di dalam dirinya ada dirimu. Dalam mimpinya, dalam doanya, dalam cita-citanya, semua tak luput darimu.

Aku mohon padamu, jangan biarkan ia kembali menjadi boneka lagi. Jangan ingatkan lagi ia pada masa lalunya. Aku mohon! Biarkan ia tertawa lagi, ia menelponku lagi untuk bercerita tentang hubungan kalian, ia meminta saranku lagi untuk mencarikan hadiah ulang tahunmu. Aku tak peduli bahkan jika aku harus menjadi seoarang teman bahkan kakaknya.

Rasanya sangat sakit saat ia tak melihatku. Ia jahat, sangat-sangat jahat, dan bodoh. Iya, ia sangat bodoh dalam percintaan. Ia menjadikanku benar-benar merasa menjadi seorang wanita. Ia membuatku jatuh cinta layaknya wanita, tapi ia tak melihat wanita ini. Bukankah ia benar-benar orang yang jahat?

Aku ingin mengatakan tidak benar saat ia berkata bahwa hal yang orang lain ingat darinya dalah hal-hal yang kecil. Aku ingin mengatakan padanya ia berhasil tanpa melepas sepatu terlebih dahulu saat ia bertanya apa aku berhasil masuk ke dalam hati seseorang. Aku akan mengatakan padanya jika aku sampai melupakannya, ia pasti akan menamparku saat ia bertanya apa kau akan selalu mengingatku.

Tapi aku tidak bisa. Semua hanya akan menjadi mimpi yang berlalu saat aku sadar aku tak di sana. Aku mohon! Datanglah ke rumah sakit, jenguk ia. Kamu masih mencintainya kan? Untuk apa ragu? Selemah itukah cintamu hingga tak pernah bisa melangkah maju. Apa kau tidak ingin bahagia? Apa kau tidak ingin melihat orang yang kau cintai juga bahagia? Sekarang pergilah!”

Ia memandangku, ia bisu melihat perasaanku yang meletup-letup keluar dari setiap sudut bibirku bersama derai air mata. Ia bangkit, ia berdiri di sampingku. “Ayo!” ujarnya sembari menjulurkan tangannya dan tersenyum dengan manis.

Aku menggeleng. Rasanya akan jauh lebih sakit saat aku melihatnya tersenyum tapi bukan karena kehadiranku. Aku lebih memilih mendoakan kisah cinta mereka di tempatku saat ini. Aku lihat langit sore itu, begitu sayu warnanya. Entah ia mau menemani hati pilu ini atau memang seperti itu warnanya. Entahlah.

Aku melihatnya melangkah menuju rumah sakit. Bukan, bahkan kini ia berlari. Ia berlari semakin kencang hingga ia tenggelam dari pandanganku. Kita mencintai orang yang sama, tapi hanya dirimu yang bisa membuatnya bahagia. Berjanjilah padaku,  pada seseorang yang memiliki perasaan yang sama denganmu, buat ia bahagia. Berjanjilah!

Aku benar-benar menangis karena si bodoh Bilal. Aku usap sedikit demi sedikit air mata ini. Ini haruslah menjadi air mata yang terakhir, janjiku! Aku tak akan menangis lagi, ia telah bahagia. Apa yang lebih membuatku bahagia selain itu? Aku rasa selama aku ada di sisinya, tak peduli sebagai apa diri ini, rasanya pasti menyenangkan! Ya, aku yakin akan baik-baik saja.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar