Web Hosting

Untuk Istriku

Dia istriku. Dia istriku yang melayaniku. Dia istriku yang menjadikanku seorang ayah. Dia istriku yang menyempurnakan separuh nafasku. Dia istriku yang mengusap punggungku kala amarah bersemayam dalam dada. Dia istriku yang doa dan air matanya tulus untukku.

Gadis Berjilbab Ungu

Bagiku sudah biasa aku mendengar kemarahan ayah seperti saat ini. Ibuku hanya bisa menangis melihat aku yang sedang dibentak-bentak ayah.

Monster Pembawa Gunting

“Yah gondrong.” Batinku saat aku memakai seragam sekolah sambil melihat kaca. Aku usap rambutku, memang benar gondrong rupanya. Alamat ibu akan ‘menyanyi’ kalau tahu begini.

Seragam Sekolah

“Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tak diganggu.dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Duhai gadis berjilbab ungu,

Pertama aku melihatmu seketika itu aku jatuh hati padamu. Sikap lemah lembutmu, senyum tulusmu, tutur bahasamu, cantik sekali di mataku. Dengan balutan jilbab berwarna ungu kau terlihat begitu anggun. Siapa dirimu aku bertanya-tanya dalam hati.

Senin, 22 Juni 2015

JARVIS: mudahnya membuat toko online serasa membuat mie instan

Sudah lihat film Iron Man dengan Artificially Intelligent (AI)–nya yang bernama Jarvis (Just A Rather Very Intelligent System), nah sekarang Jarvis sudah mucul di Indonesia. Bukan sebagai AI tapi sebagai platform e-commerce yang begitu intelligent. Namanya Jarvis Store

Sabtu, 20 Juni 2015

Rahasiaku

Rahasiaku
Aku tak bisa lagi. Ia memaksa keluar dari setiap sudut mataku. Ia mengetuk mata yang tertutup rapat. Tanpa pernah bisa aku berkata, ia bahkan tak mengijinkanku untuk mengusapnya. Aku tertunduk membiarkan tiap tetesnya jatuh berlinang.

Aku paksakan mata ini terbuka. Aku tatap ia dengan mata yang sayu. Aku usap mataku, dan tak kunjung reda ia menetes. Tampak ia ikut merasakan kesedihanku. Tatapan ibanya benar-benar aku terima tanpa penolakan. “Aku mohon!” sedikit memaksa bibirku berkata.

Rabu, 17 Juni 2015

The Answer

The Answer
Bumi, itulah nama yang diberikan pada tempat ini oleh nenek moyang kami. Sebuah tempat dengan langit biru dan rerumputan yang menghampar. Tempat di mana ada tawa yang melepaskan beban. Tempat yang dipenuhi kicauan burung berwarna-warni. Semua keindahan itu berada dalam setiap jengkal bumi.

Itu yang aku dengar. Selebihnya hanya khayalan liar yang menciptakan bumi dalam kepalaku. Bumi telah berubah, ia kering dan memanggang. Langit enggan untuk membangunkan bumi yang tertidur. Angin hanya membawa kabar duka tanpa pernah ia membuat kami tersenyum. Matahari kian kejam pada manusia yang lupa cara menyambut matahari pagi.

Ini adalah kotaku, mereka menyebutnya Rock City. Sesuai namanya, tempat ini memanglah dipenuhi oleh bebatuan. Kota ini juga tak pernah merasakan kehadiran matahari. Kota ini di tutupi kubah yang membuatnya selalu dalam kegelapan malam. Matahari hanya akan ditemui di daerah pertanian di luar kubah. Itupun tak akan lama, karena kami memiliki peraturan untuk tidak di luar kubah mulai dari pukul 9 pagi hingga pukul 3 sore. Hal ini disebabkan panas matahari yang tak dapat lagi ditoleransi oleh tubuh manusia.

Namaku Bilal seorang pencari batu. Sama seperti teman-temanku yang lainnya. Karena hanya ada satu jenis pekerjaan di sini. Namaku tergolong unik di masa sekarang ini. Nama yang mirip dengan orang-orang timur tengah tapi aku sendiri tak tahu asalku dari mana. Aku sering pergi ke perpustakaan dan membaca masa-masa kejayaan bumi sebelum menjadi seperti ini.

Dahulu ada 7 benua, Asia, Amerika Selatan, Amerika Utara, Afrika, Eropa, Australia, Antartika. Di setiap benua terdapat beraneka ragam budaya dan manusia. Membayangkan apa yang tertulis dalam buku-buku kuno membuatku ingin kembali ke masa lalu.

Bumi berubah sejak lapisan ozon mulai berlubang. Panas yang tak dapat ditahan oleh kulit manusia akhirnya menciptakan sebuah kota yang tertutup kubah yang di sebut Rock City. Sejarah singkat dari buku-buku kuno karangan orang-orang terdahulu.

Wilayah pertanian adalah wilayah di luar kubah kota Rock City. Di sanalah tempat tinggal kami. Ketika siang kami masuk kubah untuk mencari batu dan malamnya kami kembali ke wilayah pertanian. Sesuai namanya di sini terdapat berbagai macam tumbuhan yang kami tanam untuk bahan makanan kami. Tanaman yang sudah menjalani persilangan genetik, menyebabkan ia mampu bertahan di bawah teriknya matahari.

Sebelum masuk kubah kami terlebih dahulu bertani hingga pukul 8 pagi. Setelahnya kami masuk ke dalam kubah hingga pukul 3 sore. Sore hari menjadi waktu istimewa kami. Kami bebas melakukan apapun, dan yang biasa aku lakukan ialah membaca buku sembari melepas kepergian matahari.

Di kota ini, tak ada anak kecil maupun orang tua. Kami memiliki usia antara 13 sampai 25 tahun. Selebihnya kami tidak pernah tahu. Kami hilang ingatan dan tiba-tiba terdampar di sini. Dan bagi mereka yang sudah berusia lebih dari 25 tahun mereka hilang begitu saja. Mereka lenyap entah kemana. Tidak ada yang tahu.

Kami juga tak tahu untuk apa batu-batu yang sudah kami gali dari dalam kubah. Yang kami ketahui hanyalah desas desus tentang apa yang di balik tembok wilayah pertanian. Sebuah tempat yang dihuni oleh makhluk-makhluk mengerikan. Siapapun yang ke sana tak akan pernah kembali.

Dan kabarnya mereka yang berusia di atas 25 tahun dibuang ke sana. Rumor yang beredar mereka yang berumur 25 tahun lebih tiba-tiba saja menghilang. Tak menunggu waktu lama, ada yang mengatakan ketika pukul 00.01 atau usianya sudah 26 tahun lebih 1 detik ia telah menghilang dari tempat tidurnya. Semua hanya cerita yang mengalir dari mulut ke mulut tanpa pernah bisa diketahui kebenarannya.

Pertanyaan besar yang tak memiliki jawaban hingga saat ini. Darimana asal kami? Apa tujuan kami di sini? Untuk apa batu-batu ini? Mengapa kami hilang ingatan ketika di sini? Apa yang tersembunyi di balik tembok wilayah pertanian? Dan banyak lagi pertanyaan tanpa jawaban.

“Bil.”

“Alan,” sahutku! Aku melambaikan tangan padanya. Tampak peluh membasahi seluruh tubuhnya. “Jogging?”

“Ya. Tentu!” ujarnya terengah-engah. Ia Alan, sahabat pertamaku di sini. Kami datang ke sini secara bersamaan. Kami tak tahu siapa kami, hanya sebuah gelang metal bertuliskan Bilal di tangan kiri yang menjadi identitasku. Itulah cara pemberian nama di tempat ini.

“Bagaimana kabarmu hari ini?” katanya setelah nafasnya mulai teratur.

“Bisa kau lihat dari kantung mataku. Aku tak bisa tidur semalam.”

“Mengapa?”

“Banyak yang terjadi dan BANG! Kepalaku meledak.”

“Hahaha. Apa yang kau pikirkan?”

“Wanita!” jawabku singkat.

“Apa itu wanita? Batuan jenis baru kah?”

“Hah. Sesekali ikutlah denganku ke perpustakaan. Di sana tertulis dunia ini ada 2 jenis manusia, laki-laki dan wanita.”

“Wow. Aku tak percaya, itu luar biasa!”

“Benarkah?” sahutku antusias.

“Ya. Dongeng yang luar biasa. Kau tahu kan itu hanyalah dongeng, itu tidak nyata.”

Aku tertunduk diam. Buku-buku perpustakaan hanyalah dongeng bagi kami, itulah yang menyebabkan ia sepi pengunjung. Aku pun tak tahu apakah wanita itu benar-benar ada.

“Nanti tunggu aku di depan gerbang kubah!” kata Alan mengagetkan lamunanku.

“Baiklah. Segeralah pulang, baumu menghancurkan semangat pagiku.”

“Sialan!” katanya sesaat sebelum ia berlalu pergi.

***

Kami berjalan menuju ke dalam kubah untuk segera memulai pekerjaan kami. Robot-robot penjaga mulai asyik mengabsen kami. Setiap hari kami harus masuk kubah untuk bekerja. Jika tidak, kami akan terpanggang dan meleleh di wilayah pertanian. Bagi mereka yang sakit, mereka diijinkan untuk tidak bekerja jika mereka telah mendapat persetujuan dari dokter. Walaupun disebut dokter, ia tetap bukan manusia.

Kami tak pernah mendapatkan gaji. Yang kami dapatkan hanyalah perlindungan dari sinar matahari. Kami tidak bisa memberontak. Ketika kami menghancurkan satu robot akan datang 3 robot baru, begitu seterusnya. Itu semakin memperburuk keadaan kami. Siapa pembuatnya? Kami tidak tahu!

Aku mulai menggali dan terus mencari bebatuan.  Batu yang kami cari adalah jenis bebatuan yang memancarkan warna-warna indah. Begitu berbeda dengan keadaan kubah ini yang selalui ditutupi kegelapan.

“Hei ayo istirahat,” kata Alan menepuk pundakku.

“Mungkin tidak. Mataku akan terpejam saat tubuhku diam,” balasku.

“Apa bagusnya memaksakan tubuhmu. Mungkin kau harus mengganti makananmu dengan oli sama seperti mereka,” kata Alan menunjuk para robot pengawas yang lalu lalang.

“Baiklah,” jawabku dengan tersenyum.

“Hei.”

“Apa?”

“Apakah kamu tahu kita di sini sudah berapa lama?”

“Memangnya kenapa?”

“Aku takut! Sepertinya sebentar lagi usia kita akan beranjak 26 tahun.”

“Benarkah?” tanyaku. Aku benar-benar terkejut. Begitu cepatkah 12 tahun itu hingga aku tak merasakan bahwa aku sudah hampir berusia 26 tahun.

“Bagaimana menurutmu?”

“Aku pun tak tahu. Dari mana kau tahu kita hampir berusia 26 tahun?” tanyaku penuh ke heranan. Di tempat ini jangankan kalender, jam saja tidak ada. lantas bagaimana ia bisa tahu sudah berapa tahun kami terpenjara di sini.

“Aku tidak tahu, tapi aku merasa bahwa aku mulai diawasi. Apa kamu tidak merasakannya?”

Aku menggeleng. Apa benar ucapannya itu. Makan siangku menjadi terasa hambar karenanya. Nafsu makanku hilang membayangkan angka sial di kota ini, 26! Ketakutan mulai terselip di antara hatiku. Aku mulai mengawasi sekitarku dengan penuh kewaspadaan.

Hari kian hari terasa semakin jelas arah hidupku. Aku mulai merasa diawasi. Tidurku semakin tak menyenyakkan. Pekerjaanku semakin kacau, makanpun entah bagaimana rasanya. “Lan, bagaimana ini?”

“Aku tidak tahu. Aku terlalu takut!”

“Ayolah bantu aku memikirkan sebuah ide. Kita harus bisa menyelamatkan diri kita.”

“Entahlah. Aku tak tahu, aku pasrah,” katanya tertunduk lesu.

“Ayolah! Kau sudah kalah sebelum berperang.”

“Biarlah! Memang sejak awal kita sudah kalah. Kalau kita bisa menang, tentu orang-orang sebelum kita masih ada hingga kini, hingga usia mereka lebih dari 25 tahun.”

Aku cengkram kerah lehernya. Aku tatap lekat-lekat wajahnya. Tak ku lihat semangat dalam tatapannya. Ia benar-benar kalah dari dalam. Memaksanya akan percuma, mau tidak mau aku akan berperang sendiri. Aku lepaskann ia dan berlalu pergi meninggalkannya.

Aku pergi ke wilayah pertanian mencari sebatang kayu untuk menjadi sebuah senjata. Bagaimanapun juga aku tidak mau mati sia-sia. Aku akan berperang, kalaupun memang harus mati rasanya lebih terhormat karena aku telah berjuang.

Aku mencoba mencari tempat persembunyian tapi apa yang bisa aku lakukan. Aku memakai gelang metal yang akan membuat para robot sialan itu tahu keberadaanku. Berpikir untuk melepasnya sangatlah tidak mungkin. Aku sudah mencoba berulang kali menghancurkannya, tetapi hingga kini ia masih setia di tangan kiriku.

Malam demi malam tak ku lalui dengan tidur. Aku terjaga bersama tongkat kayuku. Seperti malam ini. Aku masih terjaga menunggu apakah hari ini usiaku beranjak ke angka 26. Di tengah kepenatanku menunggu, tiba-tiba gelangku mengeluarkan cahaya dan membunyikan suara seperti alarm. Aku terkejut dan mencoba melepasnya. Rasanya sangat sakit, seakan-akan gelang itu menusukkan jarum ke lenganku dan semuanya gelap.

Aku buka mataku. Yang ku lihat adalah lampu di atas kepalaku. Aku lihat tangan dan kakiku terikat pada sebuah papan. Aku dalam keadaan telanjang. Aku lihat sekelilingku, mencoba memahami keadaan sekitarku.

Semuanya teman-temanku di Rock City. Keadaan mereka sama seperti, telanjang dan terikat. Beberapa saat kemudian tempat itu didatangi oleh 2 robot. Mereka berjalan ke arahku. Mereka membawa papan yang mengikatku. Mereka memindahkanku ke ruangan lain.

Hingga sampailah aku ke sebuah tempat, dengan beberapa makhluk yang mirip dengan kami tapi memiliki sedikit perbedaan. “Siapa kalian?”

“Kami? Kami yang melahirkanmu sayang,” kata salah satu mereka seraya mengusap pipiku.

“Melahirkan? Kalian…wanita?”

“Wow. Teman-teman laki-laki ini sepertinya sangat cerdas dibandingkan laki-laki lainnya,” katanya memanggil teman-temannya yang lain.

Mereka mulai mengerubungiku dengan tatapan yang aneh. Tatapan liar seperti orang kelaparan.

“Bagaimana kau tahu kami wanita?” tanyanya lagi.

“Dari buku-buku di perpustakaan. Dan apa semua ini, siapa kamu? Siapa kalian semua?”

“Oh, rupanya bangunan itu memiliki pengunjung juga. Siapa aku? Aku Karin. Dan Siapa kami? Kami adalah orang-orang yang melahirkan kalian, laki-laki bodoh! Kami yang membuat robot-robot itu. Kami yang membuang kalian di sebuah tempat bernama Rock City. kami yang menghilangkan ingatan kalian dan membuat kalian menggali bebatuan untuk di jadikan perhiasan kami.”

Aku tercengang mendengarnya. Sebuah pertanyaan yang selama 12 tahun tidak juga terjawab akhirnya terjawab oleh manusia berjenis wanita bernama Karin di depanku. “Lantas apa mau kalian dariku?”

“Mau kami? Kami mau makan. Kami lapar.”

“Makan?”

“Ya! Jika kalian di Rock City hanya memakan sayuran, kami di sini memakan daging. Sudahlah kau tentu tidak tahu apa itu daging. Koki aku suka daging ini, lekas masak ia. Aku sudah lapar!”

Kemudian robot yang ia panggil koki mulai mendekatiku dan membawaku pergi. Aku mulai panik, aku berteriak-teriak tapi percuma. Siapa yang akan menolongku. Tibalah aku di ruang berbeda yang kini dipenuhi oleh robot-robot. Robot itu mulai mengambil pisau dan mendekatiku.

Aku takut, sangat takut. Tapi apa yang bisa aku perbuat? Aku akan mati dan disajikan dalam bentuk makanan pada manusia-manusia bernama wanita. Jadi pekerjaanku hanyalah untuk memenuhi hasrat mereka dengan batu-batu indah itu. Jadi itu semua hanyalah untuk seperti ini. Pertanyaan orang-orang di Rock City kini mulai terjawab, andai saja aku bisa menyampaikan pada mereka jawaban atas pertanyaan mereka. Anda saja!

Minggu, 14 Juni 2015

Tidur



Tidur
Pukul 21.00. Untuk kesekian kalinya aku menyambangi tempat tidur ini. Melepas penat yang menemaniku sepanjang hari ini. Mulai terbayang 20 tahun hidup ku telah berlalu, dan apa yang sudah aku lakukan? Terselip rasa takut. Apakah, apakah mataku akan terbuka kembali esok hari? Apakah, apakah ini malam terakhirku?


Apa yang terjadi hari ini, apakah sebuah fenomena dunia atau nasehat dari Tuhan? Ketika Izrail mampir ke desa ini, bertamu ke sebelah rumah ku. Apakah Izrail akan bertamu lagi esok, apakah hanya sekedar bertanya alamat?

Pukul 22.00. 20 tahun, berapa tahun umur yang akan menyelamatkanku? Berapa tahun umur yang akan menjadi penyesalanku? Kenapa tidur yang aku lakukan bertahun tahun menjadi hal yang menakutkan?

Apakah karena aku sadar akan dosa - dosa ku? Bagaimana mungkin aku sadar dan tetap melanjutkan dosa - dosa itu? Tuhan, muhasabah kini menyibukkan ku.

Selasa, 09 Juni 2015

Man Jadda Wa Jada

Man Jadda Wa Jada
Hari ini adalah hari kelulusanku. Aku lihat teman-temanku yang tengah mempersiapkan berbagai dokumen untuk kuliah mereka. Aku tertunduk lesu berbeda sekali dengan sifatku yang biasanya berisik.

Walaupun orang tuaku tidak bicara apa-apa tapi untuk meminta mereka menguliahkanku rasanya tidak mungkin. Walau nilai yang aku dapat di atas rata-rata, bahkan aku mendapat peringkat tiga umum tapi kuliah hanya mimpi sepertinya.

Senin, 08 Juni 2015

Waktu Yang Tersia-siakan

Waktu Yang Tersia-siakan
Al Hasan Bashri mengungkapkan:
“Aku mendapatkan sekelompok orang yang lebih kikir atas usianya, daripada kekikirannya terhadap uangnya.”

Sabtu, 06 Juni 2015

Betapa

Betapa
Allah swt. berfirman, “Wahai anak Adam! Betapa banyak lampu-lampu dipadamkan oleh hembusan hawa nafsu; betapa banyak ahli ibadah yang dirusak oleh rasa ujubnya; betapa banyak orang kaya yang dihancurkan oleh kekayaannya; betapa banyak orang miskin yang dibinasakan oleh kemiskinannya; betapa banyak orang sehat yang dirusak oleh kesehatannya, betapa banyak orang alim yang dibinasakan oleh ilmunya; serta betapa banyak orang bodoh yang dihancurkan oleh kebodohannya.

Jumat, 05 Juni 2015

Cara Berdakwah

Cara Berdakwah
Kebencian terhadap hidup dan rasa takut kepada Allah telah mengeluarkan diriku darinya
Jiwaku terjual dengan harta yang tak pantas baginya
Sesungguhnya aku menimbang yang akan kekal untuk dapat mengimbangi kehidupan
Segala yang tidak kekal, demi Allah, tidak akan kami pertimbangkan

Rabu, 03 Juni 2015

Agar Tenang Hati

Agar Tenang Hati
Seorang tetangga Asmai ingin berutang beberapa dirham kepada Asmai. Ia menjawab, "Baiklah. Tetapi kamu harus meninggalkan barang sebagai gadai untuk utangmu."

Tetangga Asmai yang tersinggung mendengar permintaannya berkata, "Apakah kau tidak percaya kepadaku?"

Asmai membalas, "Tentu saja aku percaya. Namun, Ibrahim Khalilullah a.s. yang percaya kepada Allah saja berkata , 'Agar hatiku tenang (mantap)'."