Tiga
jam sudah berlalu sejak aku terbaring. Tidak juga rasa kantuk menghampiriku,
sedikitpun.Aku lihat di samping kiriku, ibuku sudah tertidur pulas.Aku lempar
pandanganku ke samping kanan. Mataku tertuju pada lima tumpukan buku di atas
meja.
Pasti
Ika, adikku. Dia tahu betul hobi kakaknya.Sudah lama dia tidak lagi bertanya
tugas-tugas kuliahnya padaku.Sebenarnya dia jauh lebih cerdas dariku.Dia bisa
masuk universitas yang gagal aku masuki, UNS Surakarta.Dulu, aku sangat ingin
masuk jurusan hukum, tapi akhirnya justru aku terdampar sebagai calon sarjana komputer.
Aku
ambil salah satu buku itu, Tertawa Bersama Al Qur’an, Menangis Bersama Al
Qur’an.Aku tidak begitu suka buku agama, aku lebih menggemari buku-buku
sejarah.Tapi aku lihat kelima buku itu bertemakan agama semua.Apa boleh buat, semoga
aku cepat mengantuk setelah membaca buku, pikirku. Aku bolak-balik tiap
halamannya, mencari sesuatu yang menarik untuk aku baca.Hingga akhirnya aku
mendapati judul, Detik-Detik Terakhir Kehidupan Yazid al-Rakasyi.
Hawsyab
ibn Aqil menceritakan bahwa detik-detik terakhir kehidupannya, Yazid ibn
al-Rakasyi membaca ayat: “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya
pada hari Kiamat saja diberikan dengan sempurna balasanmu.”
Kemudian
ia berkata, “Semua amal manusia akan ditaruh di hadapannya dan semua amal
mereka akan mendapatkan balasan yang sempurna. Setiap orang akan menyaksikan
untuk apa ia bekerja. Dunia beserta segala isinya akan berakhir dengan
kematian.”
Aku
terhenti membacanya.Aku tidak sanggup lagi membacanya, terbesit rasa takut.“Setiap
yang bernyawa akan merasakan mati….” Aku tutup buku itu cepat-cepat. Aku
taruh kembali buku itu, aku minum air putih yag sudah disediakan untukku.
Apakah ini hari terakhirku menghirup nafas?Pertanyaan yang menghanyutiku secara
tiba-tiba.
Aku
lihat ibuku, sudah 24 tahun ia bersamaku. Belum pernah aku mendengar nada
tingginya di telingaku.Selalu lemah lembut, penuh kasih sayang menasehatiku.Pelan-pelan
ingatanku mundur ke belakang.
***
“Ham,
sini nak Ibu mau bicara,” panggil ibuku sore itu.
“Ya
bu, kenapa?”
“Kamu
kan sudah lulus SMA.Ibu, jujur tidak punya biaya untuk kamu kuliah nak.Ibu,
minta maaf,” kata Ibuku sambil tertunduk menutup wajahnya.
“Bu,
Ilham tidak ingin kuliah kok Bu. Sejak awal Ilham sudah putuskan untuk
bekerja.Ibu jangan sedih.Ibu doakan Ilham saja semoga Ilham cepat dapat
pekerjaan.”Aku usap lembut punggungnya. Aku peluk ia, aku coba menenangkannya.
Ibuku
adalah orang tua yang hebat.Dia memilih menjadi single parent dan membesarkan
aku bersama adikku, Ika.Ayahku meninggal karena demam berdarah 14 tahun yang
lalu.Saat itu aku masih ingat, aku hanya seorang bocah berusia 10 tahun yang
mencoba menghibur adikku yang berusia 4 tahun.
Ibuku
bekerja mati-matian untuk menyekolahkan kami berdua.Beliau tidak pernah
berpikir untuk menikah lagi.Dia sangat mencintai ayah lebih dari apapun
juga.Dan baginya kami adalah pengganti ayah di kehidupannya.
Aku
bekerja untuk membantu ibuku menyekolahkan Ika.Aku berharap Ika membawa
mimpi-mimpiku untuk kuliah.Akhirnya dia bisa kuliah, dengan beasiswa yang dia
usahakan sendirian tanpa memberitahu aku dan ibu.Kejutan untuk kami, katanya.Di
samping itu, kini dia juga bekerja sebagai penyiar radio.
“Kak,
uang yang kakak tabung untuk kuliah Ika lebih baik untuk kakak kuliah saja. Ika
kan sudah dapat beasiswa, dan Ika juga sudah dapat pekerjaan sekarang. Ibu
pasti setuju kalau uang itu buat kakak kuliah. Ya kan Bu?”
“Iya
Ham, uang itu untuk kamu kuliah saja.Siapa tahu nanti kalau kamu sudah sarjana
kamu dapat pekerjaan yang lebih baik lagi.”
***
“Pagi
kak.Nyenyak tidurnya?”
“Pagi
Ka. Lumayan.Ibu mana?”
“Ibu
sholat dhuha.Kak Ilham mbok juga sholat, kakak kan sekarang pemimpin keluarga
kita setelah bapak pergi.”
“Nanti
sajalah Ka.”
“Ya
jangan begitu to kak.Sholat itu tiangnya agama.Kak Ilham gimana mau jadi pemimpin
aku sama ibu kalau kak Ilham saja agamanya ambruk ndak punya tiang.”
“Ka,
ini masih pagi ya Ka.Aku baru bangun tidur.Bisa ndak aku tenang sedikit saja.”
“Yasudah
maaf kak.Aku pergi siaran dulu kak, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Dia
pergi meninggalkan aku sendiri.Sering, bahkan terlalu sering dia menceramahiku
tentang sholat.Dan selalu berakhir dengan adikku yang memilih diam. Dia pasti
tahu sifat kakaknya yang keras kepala.Ibuku pun sampai putus asa menasehatiku
untuk sholat.Hingga akhirnya beliau menyerah dan mendiamkanku.
Aku
mulai meninggalkan sholat sejak ayahku meninggal.Baik itu sholat wajib, apalagi
sholat sunah.Aku merasa Tuhan tidak adil.Tuhan itu kejam.Dia, Dia yang menyebut
diri-Nya Tuhan sudah mengambil kebahagiaan keluargaku, hinga ibu harus bekerja
keras menghidupi keluarga kami.Dia yang sudah membuat aku hampir saja tidak
bisa kuliah. Dan Dia, Dia yang sudah membuat aku terbaring di rumah sakit saat
ini. Dia sudah memberikan tumor di kepalaku.Apakah Dia pantas mendapat sebutan
Tuhan? Tuhan Maha Penyayang tapi sekarang apa yang diperbuat-Nya padaku? Beginikah
perbuatan Maha Penyanyang kepada hambanya?Dia tidak pantas disebut Tuhan.
“Ham
ada temanmu mau menjenguk,” kata ibu mengagetkanku.
“Zahra.”
“Ibu
keluar dulu ya Ham, biar ditemenin nak Zahra. Ibu tinggal dulu ya nak,” kata
ibu meninggalkan kami berdua.
“Iya
Bu. Gimana sudah sehat?”tanya Zahra setelah ibuku pergi.
“Kalau
sehat mah sudah lari kesana kemari Mbak.Wong masih di atas tempat tidur gini kok.”
“Maksud
aku sudah mendingan belum gitu Dik Ilham.”
“Yah
lumayan.”
“Anak-anak
pada kangen sama kamu.Gak ada yang ngajarin kriptografi katanya.Makanya cepetan
sembuh donk.”
“Anak-anak
apa kamu?Yang kangen anak-anakkok yang datang cuma kamu sendiran.”
“Ih,
anak-anak Ham.Sakit aja masih tetep nyebelin ya kamu ih. Aku tadi mampir ke toko
buku, terus inget sama kamu deh. Jadinya sekalian aku mau jenguk kamu, sama ini
aku beliin kamu buku biografinya Chrisye,” katanya sambil menyerahkan bungkusan
berisi buku yang dibelinya.
“Wah
makasih loh, nanti aku pasti baca.Tuh buku di meja juga dari Ika belum sempet
aku baca.Banyak lagi.”
“Kamu
suka bukunya?Harusnya suka, kamu kan suka sejarah.”
“Ga
juga sih, tapi aku lebih suka sama yang beliin buku ini,” godaku.
“Kamu
tuh ah,” dia menepuk pahaku dengan keras.
“Aduh,
sakit tahu Za.”
“Maaf,
maaf.”Katanya sambil tertawa.
Kami
bercerita banyak hal.Tentang kondisiku, tentang mata kuliah yang tidak aku
ikuti selama ini, tentang ika, tentang keluargnya, dan banyak lagi.Akhirnya dia
pamit untuk pulang.Masih ada kerjaan katanya.“Cepat sembuh Ham, aku butuh guru
kriptografi soalnya.Juga butuh pacar.”Katanya sambil mengedipkan mata.Aku hanya
tertawa mendengarnya.
Aku
taruh buku itu di meja sampingku.Mataku kembali tertuju ada bukuyang semalam
aku baca.Sedikit ragu aku mengambilnya, walau akhirnya buku itu kini ada di
tanganku.Ada sedikit rasa penasaran tentang isi buku ini.Aku mulai tertarik
membacanya.Aku bolak-balik buku itu, membacanya secara acak.
Allah
berfirman, “Maka, bagamimana pendapatmu jika kepada mereka kami berikan
kenikmatan hidup beberapa tahun, kemudian kami datang kepada mereka azab yang
diancamkan kepada mereka niscaya tidak berguna bagi mereka nikmatyang mereka
rasakan.”
“Yang
menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kalian, siapa diantara kalian yang lebih
baik amalnya. Dan Dia MahaPerkasa, Maha Pengampun.”
Dan
datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya.Ituah yang dulu hendak kamu
hindari.
Aku
tutup buku itu.Tak terasa airmataku sudah membasahi pipiku.Bergetar hatiku membaca
buku itu.Terasa dekat kematian bagiku. Apakah Izrail akan berkujung ke
ruanganku ini? Apa yang sudah aku persiapkan untuk menyambut tamu agung ini?
Sudah
berapa banyak dosa yang aku lakukan selama ini?Sungguh telah lalai diriku ini.Aku
telah tersesat jauh di dalam kebencianku pada-Mu.Kenapa aku tidak bisa
menasehati diriku sendiri?Kenapa aku tidak mengenal diriku sendiri hingga perlu
orang lain untuk menasehatiku? Berbagai pertanyaan muncul di benakku.
Allah
aku kembali, aku pulang, pulang ke hadirat-Mu, pulang ke takdirku sebagai hamba.Aku
menangismenyesal.Aku hisap semua yang telah aku lalui. Apakah aku akan mati
dalam keadaan kafir? Apakah masih ada kesempatan untuk aku menjadi muslim yang
taat? Apakah neraka tempat kembaliku kelak?Bermacam-macam pertanyaan
menghantuiku.
Hingga
terdengar adzan dhuhur berkumandang.Aku tersentak mendengarnya, suara yang tak
pernah bisa menyentuh hatiku selama 14 tahun.Tetapi sekarang menghadirkan rasa
rindu yang mendalam.Kerinduan pada yang Maha Abadi.Aku bertayamum dan inilah
sholat pertamaku sejak 14 tahun yang lalu.Allah Akbar.