“Lihat
kakakmu, lihat dia. Sekarang dia sudah bisa membelikan ayah mobil, membelikanmu
motor, membelikanmu laptop.Apa kamu tidak mau seperti dia? Dia sukses di
pekerjaannya, kenapa kamu adiknya malah tidak mencontoh kakakmu?”
Aku
hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar ‘nyanyian’ ayahku.Bukannya aku tidak
ingin sukses, tapi aku hanya tidak suka menjadi orang yang diperintah. Kakakku
Tony, memang sukses. Dia sudah menjadi manajer tapi bagaimanapun juga dia masih
menjadi suruhan orang di atasnya.Dan itu yang tidak aku sukai.
“Sudah pak. Malu didengar tetangga,” kata ibu menenangkan ayah.“Lukman, kamu pergi ke kamar saja deh ya,” suruh ibuku.Aku berjalan gontai menuju kamarku.Sampai kapan ya aku mau mendengar ayah marah-marah padaku terus?Aku juga tidak ingin melihat ayah marah terus-terusan tapi mau bagaimana lagi, aku memang lebih suka begini.
“Dimarahin
ayah lagi?”
“Iya
kak.Kakak sih gara-garanya.Pakai acara jadi manajer segala, aku kan yang kena
semprot jadinya.”
“Aku?Yang
bener saja donk.Kamu juga enggak serius sih sama kerjaan kamu sekarang.”
“Ye,
kata siapa. Aku serius kali kak, aku akan buktikan kepada ayah aku bisa sukses.
Bahkan lebih dari kakak.”
“Aku
akan tunggu semua itu,” kata kakakku sambil mengacungkan jempolnya.
Di
kamarku aku merenungkan setiap kata-kata ayah.Kenapa ayah suka anaknya menjadi
karyawan?Bukankah lebih baik lagi kalau jadi bos?Kata-kata Kak Toni ada
betulnya juga, mungkin aku kurang serius terhadap bidang yang aku tekuni
sekarang.
Untung
saja masih ada ibu dan kakak yang mendukungku.Kalau tidak ada mereka bagaimana
caranya aku menghadapi ayah?Aku tidak boleh membuat mereka kecewa karena sudah
percaya pada jalan yang aku ambil. Aku harus lebih serius lagi, aku akan buat
buku yang nantinya bisa dibaca banyak orang. Buku yang akan membuat ayah bangga
padaku dan tidak menentangku untuk menjadi penulis. Aku pasti bisa.
***
“Man,
ngapain di luar situ. Nanti masuk angin sini masuk.”
“Iya
kak bentar.Cari inspirasi.”
“Kamu
bener mau jadi penulis?” tanya kakak mendekatiku.
“Iya
kak.Kan aku sudah bilang dari dulu.”
“Alasannya?”
“Jadi
begini kak. Dulu itu kan kakak tahu aku jarang banget yang namanya sholat.
Terus aku enggak sengaja baca di buku
kakak, katanya orang yang tidak sholat nanti begini begitu. Terus
akhirnya aku rajin sholat kan sekarang?”
“Iya,
terus hubungannya apa Man?”
“Aku
ingin menginspirasi orang lewat buku yang aku tulis kak.Membuat mereka sadar
akan kesalahan mereka, menasehati mereka dengan buku aku kak.”
Kakakku
hanya mengangguk-angguk.“Terus bagaimana dengan ayah?”“Ya itu yang jadi masalah
kak.Aku mau membuktikan pada ayah aku bisa sukses sebagai penulis, tapi ayah
sepertinya sudah tidak sabar menunggu bukti dari aku kak.Ada saran tidak kak
aku harus bagaimana?”
“Saran,
ehm saran ya.Apa ya? Begini saja deh, kamu itu kan pintar kalau di suruh
ngerjain soal-soal yang pakai logika. Nah selama ini, orang yang suka ceramah
cuma nyuruh kita yakin tentang agama tapi mereka tidak memberikan
pembuktian.Coba saja kamu tulis cerita bertemakan agama tapi dari sudut pandang
logis, jadi agama kalau dilogika itu seperti ini,” katanya.
Aku
diam memikirkan ide kakakku, sepertinya memang belum banyak orang yang menulis
agama menggunakan sudut pandang logika.Tapi bukankah itu sulit, apalagi ilmu
agamaku tidak seberapa.Tapi bukankah itu jadi tantangan bagiku?
“Oke
kak, aku setuju. Terima kasih kak, pantesan jadi manajer, pinter gitu ternyata.
Aku mau semedi dulu,” kataku berlari meninggalkannya menuju kamarku. Aku pasti
bisa, aku akan berusaha membuat buku yang membuat ayah bangga.
***
“Man,
makan dulu Man. Ayo makan malam sama-sama,” kata ibu memanggilku.
“Enak
ya Man, tidak bekerja tapi dapat makan terus, enak lagi. Sedangkan orang di
luar sana harus mengemis untuk dapat makan,” sindir ayah begitu melihatku
mendekati meja makan.
“Ayah
jangan mulai deh,” kata ibu.
“Biarin
bu, biar dia tahu arti hidup.Mau sampai kapan dia begitu, kalau nanti kita
sudah tidak ada dia baru tahu rasanya tidak bisa makan.”
Aku
bisa diam dan terus melahap makanan yang disediakan ibu. Bagiku omelan ayah sudah
menjadi menu tambahan untuk sarapan dan makan malamku. Aku lirik kakak di
sampingku dia hanya bisa tersenyum melihat tingkahku di depan ayah. Dia sendiri
juga tidak bisa apa-apa saat ayah memarahiku, hanya ibu yang mampu untuk angkat
bicara.
“Gimana
bukumu?” tanya kakak selepas makan malam.
“Sudah
selesai, tinggal editing saja kak.Besok selesai, terus mau aku kirim ke
penerbit.Doain ya kak.”
“Beres.
Kalau buku kamu laku keras apa kamu yakin ayah akan berubah sikap? Kamu kan
tahu sifatnya ayah.”
“Pokoknya
ayah setuju atau tidak aku akan tetap jadi penulis titik.”
***
Sudah
3 bulan sejak bukuku mulai terbit di masyarakat.Pelan-pelan namaku mulai
dikenal karena buku yang ku tulis.Tapi sayangnya sikap ayahku tidak juga
berubah, dia tetap melarangku untuk jadi penulis. Walaupun bukuku menjadi best
seller tapi sikpanya tak juga berubah.
“Bu,
ayah kenapa ya padahal buku Lukman kan banyak dibeli orang. Sekarang Lukman
juga banyak dikenal orang-orang, tapi kenapa ayah tetap melarang Lukman bu?”
“Kamu
kan tahu, ayahmu memang begitu.Sekali tidak ya tidak.”
“tapi
Lukman kan sudah membuktikan bahwa Lukman sekarang bisa sukses, walau belum
menyamai kakak.”
“Orang
seperti ayahmu itu tidak bisa langsung berubah.Harus pelan-pelan, sabar saja
nanti juga bakal setuju. Orang tua mana yang tidak ingin melihat anaknya
bahagia, kan ada ibu sama kakakmu yang mendukungmu. Oh iya, sudah nyiapin kado
untuk ulang tahun ayah?”
Aku
hanya menggeleng sambil meninggalkan ibuku. Awalnya aku kira ayah akan setuju
begitu melihat bukuku sukses. Tapi dugaanku salah, sekarang aku tidak tahu lagi
harus bagaimana.Apakah aku memang harus melepas cita-citaku sebagai
penulis?Apakah aku harus menjadi pekerja kantoran yang terikat pada
waktu?Kenapa ayah begitu keras kepala?
“Cie
yang bukunya jadi best seller kok malah cemberut,” kata kakak mengagetkanku.
“Pasti gara-gara ayah,” lanjutnya.
“Iya,”
jawabku pendek.
“Daripada
cemberut gitu, temenin beli kado buat ayah yuk. Kamu sudah punya belum?”
Aku
hanya menggeleng, “Belum.”Aku putuskan untuk menemani kakakku mencari kado
untuk ayah sekaligus aku juga mencarikan kado dariku. Aku tidak tahu harus
memberikan kado apa hingga aku melihat bukuku dipajang di suatu toko buku. Aku
pikir mungkin ayah akan memberiku ijin kalau dia membaca bukuku. Begitulah, aku
berikan buku yang aku tulis sebagai kado ulang tahun ayahku.
Ketika
malam tibalah saat untuk memberikan kado kepada ayah.Satu persatu ayah membuka
kado dari kami, yang pertama kado dari ibu.Ibu memberikan kado dompet baru
kepada ayah.Selanjutnya ayah membuka kado dari kakak, aku lihat kado dari kakak
berupa jersey Chelsea. Ayah begitu senang melihatnya, memang ayah penggila bola
terutama terhadap klub Chelsea.
Sekarang
tibalah giliran kado dariku. Aku cemas menunggu reaksi yang akan ditunjukkan
ayah begitu melihat kado dariku. “Ini buku yang kamu tulis?” kata ayah setelah
melihat kado dariku.
“Iya,”
jawabku pendek.
Ayah
bolak-balik tiap halaman buku yang aku tulis.Tampak dia begitu serius
membacanya terkadang juga sedikit terlihat tersenyum.Dia hanya mengangguk-angguk
setelah menutup buku itu.“Bagus.”
Aku
terkejut mendengarnya.Apakah aku salah dengar?Sudah sering aku mendengar pujian
atas bukuku tapi kali ini pujian itu keluar dari orang yang selama ini
menentangku untuk jadi penulis, apakah yang ayah maksudkan?
“Man,
setelah ayah baca buku kamu, ayah rasa ayah harus cerita sesuatu sama kamu.”
“Apa
yah?”
“Dulu,
dulu itu ayah juga sempat menjadi penulis.Sama seperti kamu, kakek kamu juga
menentang ayah menjadi penulis.Tapi diam-diam ayah tetap menulis tanpa sepengetahuan
kakekmu.Tapi saat itu ayah gagal, buku ayah gagal terbit.Hingga akhirnya ayah
putus asa dan memilih menuruti kata kakekmu,” sejenak ayah berhenti bicara
kemudian menengguk segelas air.
“Ayah
tidak menyangka cita-cita ayah malah turun ke kamu. Ayah hanya tidak mau
melihat kamu putus asa seperti ayah, kamu menyesal di belakang. Tapi begitu
ayah baca karyamu ini, ayah yakin kamu tidak akan mengulangi kegagalan ayah di
masa lalu.”
“Ja…jadi
ayah mendukung Lukman jadi penulis?”
“Iya,
selama kamu benar-benar serius menekuninya, bukan untuk main-main ayah dukung
kamu.”
Akhirnya,
apa yang selama ini aku harapkan menjadi kenyataan. Malam itu semangatku
menjadi berlipat mendengar restu dari ayahku. Aku akan menginspirasi
orang-orang yang membaca tulisanku untuk tidak pernah menyerah, untuk bangkit
saat dia terjatuh, untuk beraksi membuktikan pada semua orang bahwa cemooh yang
mereka lontarkan adalah suatu kesalahan dan justru cemooh itu adalah pelecut
semangat.