Web Hosting

Senin, 04 Mei 2015

Itu Kan Kakak

Itu Kan Kakak
“Lihat kakakmu, lihat dia. Sekarang dia sudah bisa membelikan ayah mobil, membelikanmu motor, membelikanmu laptop.Apa kamu tidak mau seperti dia? Dia sukses di pekerjaannya, kenapa kamu adiknya malah tidak mencontoh kakakmu?”

Aku hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar ‘nyanyian’ ayahku.Bukannya aku tidak ingin sukses, tapi aku hanya tidak suka menjadi orang yang diperintah. Kakakku Tony, memang sukses. Dia sudah menjadi manajer tapi bagaimanapun juga dia masih menjadi suruhan orang di atasnya.Dan itu yang tidak aku sukai.

“Sudah pak. Malu didengar tetangga,” kata ibu menenangkan ayah.“Lukman, kamu pergi ke kamar saja deh ya,” suruh ibuku.Aku berjalan gontai menuju kamarku.Sampai kapan ya aku mau mendengar ayah marah-marah padaku terus?Aku juga tidak ingin melihat ayah marah terus-terusan tapi mau bagaimana lagi, aku memang lebih suka begini.


“Dimarahin ayah lagi?”


“Iya kak.Kakak sih gara-garanya.Pakai acara jadi manajer segala, aku kan yang kena semprot jadinya.”


“Aku?Yang bener saja donk.Kamu juga enggak serius sih sama kerjaan kamu sekarang.”


“Ye, kata siapa. Aku serius kali kak, aku akan buktikan kepada ayah aku bisa sukses. Bahkan lebih dari kakak.”


“Aku akan tunggu semua itu,” kata kakakku sambil mengacungkan jempolnya.

Di kamarku aku merenungkan setiap kata-kata ayah.Kenapa ayah suka anaknya menjadi karyawan?Bukankah lebih baik lagi kalau jadi bos?Kata-kata Kak Toni ada betulnya juga, mungkin aku kurang serius terhadap bidang yang aku tekuni sekarang.


Untung saja masih ada ibu dan kakak yang mendukungku.Kalau tidak ada mereka bagaimana caranya aku menghadapi ayah?Aku tidak boleh membuat mereka kecewa karena sudah percaya pada jalan yang aku ambil. Aku harus lebih serius lagi, aku akan buat buku yang nantinya bisa dibaca banyak orang. Buku yang akan membuat ayah bangga padaku dan tidak menentangku untuk menjadi penulis. Aku pasti bisa.


***


“Man, ngapain di luar situ. Nanti masuk angin sini masuk.”


“Iya kak bentar.Cari inspirasi.”


“Kamu bener mau jadi penulis?” tanya kakak mendekatiku.


“Iya kak.Kan aku sudah bilang dari dulu.”


“Alasannya?”


“Jadi begini kak. Dulu itu kan kakak tahu aku jarang banget yang namanya sholat. Terus aku enggak sengaja baca di buku  kakak, katanya orang yang tidak sholat nanti begini begitu. Terus akhirnya aku rajin sholat kan sekarang?”


“Iya, terus hubungannya apa Man?”


“Aku ingin menginspirasi orang lewat buku yang aku tulis kak.Membuat mereka sadar akan kesalahan mereka, menasehati mereka dengan buku aku kak.”


Kakakku hanya mengangguk-angguk.“Terus bagaimana dengan ayah?”“Ya itu yang jadi masalah kak.Aku mau membuktikan pada ayah aku bisa sukses sebagai penulis, tapi ayah sepertinya sudah tidak sabar menunggu bukti dari aku kak.Ada saran tidak kak aku harus bagaimana?”


“Saran, ehm saran ya.Apa ya? Begini saja deh, kamu itu kan pintar kalau di suruh ngerjain soal-soal yang pakai logika. Nah selama ini, orang yang suka ceramah cuma nyuruh kita yakin tentang agama tapi mereka tidak memberikan pembuktian.Coba saja kamu tulis cerita bertemakan agama tapi dari sudut pandang logis, jadi agama kalau dilogika itu seperti ini,” katanya.


Aku diam memikirkan ide kakakku, sepertinya memang belum banyak orang yang menulis agama menggunakan sudut pandang logika.Tapi bukankah itu sulit, apalagi ilmu agamaku tidak seberapa.Tapi bukankah itu jadi tantangan bagiku?


“Oke kak, aku setuju. Terima kasih kak, pantesan jadi manajer, pinter gitu ternyata. Aku mau semedi dulu,” kataku berlari meninggalkannya menuju kamarku. Aku pasti bisa, aku akan berusaha membuat buku yang membuat ayah bangga.


***


“Man, makan dulu Man. Ayo makan malam sama-sama,” kata ibu memanggilku.


“Enak ya Man, tidak bekerja tapi dapat makan terus, enak lagi. Sedangkan orang di luar sana harus mengemis untuk dapat makan,” sindir ayah begitu melihatku mendekati meja makan.


“Ayah jangan mulai deh,” kata ibu.


“Biarin bu, biar dia tahu arti hidup.Mau sampai kapan dia begitu, kalau nanti kita sudah tidak ada dia baru tahu rasanya tidak bisa makan.”


Aku bisa diam dan terus melahap makanan yang disediakan ibu. Bagiku omelan ayah sudah menjadi menu tambahan untuk sarapan dan makan malamku. Aku lirik kakak di sampingku dia hanya bisa tersenyum melihat tingkahku di depan ayah. Dia sendiri juga tidak bisa apa-apa saat ayah memarahiku, hanya ibu yang mampu untuk angkat bicara.


“Gimana bukumu?” tanya kakak selepas makan malam.


“Sudah selesai, tinggal editing saja kak.Besok selesai, terus mau aku kirim ke penerbit.Doain ya kak.”


“Beres. Kalau buku kamu laku keras apa kamu yakin ayah akan berubah sikap? Kamu kan tahu sifatnya ayah.”


“Pokoknya ayah setuju atau tidak aku akan tetap jadi penulis titik.”


***


Sudah 3 bulan sejak bukuku mulai terbit di masyarakat.Pelan-pelan namaku mulai dikenal karena buku yang ku tulis.Tapi sayangnya sikap ayahku tidak juga berubah, dia tetap melarangku untuk jadi penulis. Walaupun bukuku menjadi best seller tapi sikpanya tak juga berubah.


“Bu, ayah kenapa ya padahal buku Lukman kan banyak dibeli orang. Sekarang Lukman juga banyak dikenal orang-orang, tapi kenapa ayah tetap melarang Lukman bu?”


“Kamu kan tahu, ayahmu memang begitu.Sekali tidak ya tidak.”


“tapi Lukman kan sudah membuktikan bahwa Lukman sekarang bisa sukses, walau belum menyamai kakak.”


“Orang seperti ayahmu itu tidak bisa langsung berubah.Harus pelan-pelan, sabar saja nanti juga bakal setuju. Orang tua mana yang tidak ingin melihat anaknya bahagia, kan ada ibu sama kakakmu yang mendukungmu. Oh iya, sudah nyiapin kado untuk ulang tahun ayah?”


Aku hanya menggeleng sambil meninggalkan ibuku. Awalnya aku kira ayah akan setuju begitu melihat bukuku sukses. Tapi dugaanku salah, sekarang aku tidak tahu lagi harus bagaimana.Apakah aku memang harus melepas cita-citaku sebagai penulis?Apakah aku harus menjadi pekerja kantoran yang terikat pada waktu?Kenapa ayah begitu keras kepala?


“Cie yang bukunya jadi best seller kok malah cemberut,” kata kakak mengagetkanku. “Pasti gara-gara ayah,” lanjutnya.


“Iya,” jawabku pendek.


“Daripada cemberut gitu, temenin beli kado buat ayah yuk. Kamu sudah punya belum?”


Aku hanya menggeleng, “Belum.”Aku putuskan untuk menemani kakakku mencari kado untuk ayah sekaligus aku juga mencarikan kado dariku. Aku tidak tahu harus memberikan kado apa hingga aku melihat bukuku dipajang di suatu toko buku. Aku pikir mungkin ayah akan memberiku ijin kalau dia membaca bukuku. Begitulah, aku berikan buku yang aku tulis sebagai kado ulang tahun ayahku.


Ketika malam tibalah saat untuk memberikan kado kepada ayah.Satu persatu ayah membuka kado dari kami, yang pertama kado dari ibu.Ibu memberikan kado dompet baru kepada ayah.Selanjutnya ayah membuka kado dari kakak, aku lihat kado dari kakak berupa jersey Chelsea. Ayah begitu senang melihatnya, memang ayah penggila bola terutama terhadap klub Chelsea.


Sekarang tibalah giliran kado dariku. Aku cemas menunggu reaksi yang akan ditunjukkan ayah begitu melihat kado dariku. “Ini buku yang kamu tulis?” kata ayah setelah melihat kado dariku.


“Iya,” jawabku pendek.


Ayah bolak-balik tiap halaman buku yang aku tulis.Tampak dia begitu serius membacanya terkadang juga sedikit terlihat tersenyum.Dia hanya mengangguk-angguk setelah menutup buku itu.“Bagus.”


Aku terkejut mendengarnya.Apakah aku salah dengar?Sudah sering aku mendengar pujian atas bukuku tapi kali ini pujian itu keluar dari orang yang selama ini menentangku untuk jadi penulis, apakah yang ayah maksudkan?


“Man, setelah ayah baca buku kamu, ayah rasa ayah harus cerita sesuatu sama kamu.”


“Apa yah?”


“Dulu, dulu itu ayah juga sempat menjadi penulis.Sama seperti kamu, kakek kamu juga menentang ayah menjadi penulis.Tapi diam-diam ayah tetap menulis tanpa sepengetahuan kakekmu.Tapi saat itu ayah gagal, buku ayah gagal terbit.Hingga akhirnya ayah putus asa dan memilih menuruti kata kakekmu,” sejenak ayah berhenti bicara kemudian menengguk segelas air.


“Ayah tidak menyangka cita-cita ayah malah turun ke kamu. Ayah hanya tidak mau melihat kamu putus asa seperti ayah, kamu menyesal di belakang. Tapi begitu ayah baca karyamu ini, ayah yakin kamu tidak akan mengulangi kegagalan ayah di masa lalu.”


“Ja…jadi ayah mendukung Lukman jadi penulis?”


“Iya, selama kamu benar-benar serius menekuninya, bukan untuk main-main ayah dukung kamu.”


Akhirnya, apa yang selama ini aku harapkan menjadi kenyataan. Malam itu semangatku menjadi berlipat mendengar restu dari ayahku. Aku akan menginspirasi orang-orang yang membaca tulisanku untuk tidak pernah menyerah, untuk bangkit saat dia terjatuh, untuk beraksi membuktikan pada semua orang bahwa cemooh yang mereka lontarkan adalah suatu kesalahan dan justru cemooh itu adalah pelecut semangat.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar