Yang ku inginkan hanya sebuah
kesabaran. Sedikit lebih bersabar akan hal yang tengah aku hadapi kini. Setiap
doaku selalu dan selalu sabar yang aku minta. Aku berharap dengan bertemankan
sabar kesedihanku akan sirna. Dan bahkan keraguan yang mulai merambati hatiku
akan padam.
Terlalu sering aku melihat ke
belakang, hingga rasa penyesalanku menjadi memuncak karenanya. Memang itu
adalah sebuah cerita yang berada di halaman awal hidupku, tapi kini aku telah
membuat halaman baru dan sebuah cerita yang baru.
Namun doaku takkan pernah
terhenti, hanya kepada-Mu aku sandarkan diri ini. Aku akan tetap menjalani
hidup ini bersama dengan semua cerita dukanya. Dengan tetap memakai cadar
sebagai saksinya.
Hari ini mata mereka masih tetap
tajam tanpa keramahan melihatku. Anak-anak selalu riuh memanggilku ‘ninja’ tapi
aku percaya dan aku yakini ini jalanku. Ini Zakiya yang baru, yang lebih
mencintai segala hal di balik mata yang tertutup daripada apa yang ia lihat
selama ia di dunia ini.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Lagi apa Bi?” tanyaku yang
penasaran melihat suamiku menggali tanah di halaman.
“Ini loh sedang menanam terong.
Tadi lancar tidak Mi acaranya?”
“Alhamdulillah Bi. Yang hadir
banyak, dan kata panitianya mereka puas dengan apa yang Umi sampaikan di
pengajian tadi. Bahkan mereka minta Umi untuk mengisi pengajian lagi bulan
depan,” ujarku.
Suamiku tersenyum mendengar
penuturanku yang penuh semangat. Namanya Bilal, walau usianya dua tahun lebih
muda dari aku tetapi dia bisa menjadi imam yang sangat aku cintai. Dia hanyalah
seorang karyawan di sebuah perusahaan tekstil sebagai kepala gudang. Dia juga
yang menjadi alasanku untuk mengenakan cadar ini.
Pernikahan kami sudah berjalan
selama sembilan tahun. Pertama kali kami menjadi sepasang suami istri dia sudah
memperingatkanku tentang pakaianku yang masih tidak pantas untuk seorang
muslimah. Pertengkaran kecil kerap menghampiri kami dengan topik yang selalu
saja sama, pakaianku.
Pelan-pelan aku mulai tersadar
betapa ia sangat mencintaiku. Bukannya ia tidak mau menerimaku apa adanya
tetapi dia berusaha menjadikanku seorang muslimah sejati. Dia tidak pernah
bernada tinggi padaku, suaranya halus bahkan terlalu halus untuk seorang
laki-laki. Tapi beginilah aku, bukannya bersyukur tapi aku melawannya dengan
berbagai alasan dariku.
“Umi, Abi hanya ingin Umi terlihat
cantik di mata Allah, percuma Umi cantik di mata Abi tapi di mata Allah tidak.”
Itulah yang ia katakana untuk membujukku mengenakan jilbab berulang kali.
Bahkan aku masih ingat apa yang ia katakana saat aku mengutarakan niatku untuk
bercadar, “Umi yakin? Abi sudah cinta kepada Umi sejak pertama bertemu. Bahkan
Abi lebih cinta lagi ketika Umi memutuskan untuk berjilbab seperti sekarang
ini. Dan sekarang, Umi memutuskan untuk bercadar, apa cinta Abi masih kurang?”
“Masih kurang Abi sayang.”
“Kurang apa Umi? Apa karena kita
belum memiliki seorang anak?”
“Bukan itu Abi,” kataku tersenyum.
“Lalu kurang apa Mi?”
“Kurang cinta dari Allah Bi. Umi
ingin Allah mencintai Umi sama besarnya dengan cinta Abi ke Umi.”
Aku dibuatnya tersenyum-senyum
sendiri jika mengingat raut wajahnya saat itu. Dia langsung memelukku dengan
erat sekali. Dia begitu mendukungku ketika tahu alasanku mengenakan cadar.
Semenjak itu dia semakin semangat mengajakku menghadiri berbagai pengajian.
Akan tetapi bukan hidup jika tidak
memiliki cerita duka. Secara perlahan para tetanggaku mulai memandang dengan
sebelah mata. Mereka mulai menganggapku masuk suatu aliran tertentu. Aku hanya
bisa mengusap dada meminta kesabaran melihatnya.
“Umi,” panggil suamiku.
“Apa Bi?” aku menghampirinya dari
dapur. Di tersenyum begitu melihat aku berdiri di sampingnya siap melayani
apapun yang ia perintahkan. Dia hanya menepuk-nepuk sofa di sampingnya
memintaku untuk duduk di sampingnya. Aku tersenyum dan menuruti perintahnya.
“Umi menyesal tidak sudah pakai
cadar?”
“Tidak Bi,” gelengku.
“Abi hanya khawatir, Umi mulai
dijauhi teman-teman Umi yang dulu. Abi tidak pernah memaksa Umi utuk bercadar
tetapi kalau Abi boleh jujur, Abi suka Umi yang seperti sekarang ini.”
Aku tersenyum mendengar
penuturannya. Betapa beruntungnya aku memiliki suami yang begitu peduli dengan
keadaanku. Walau setiap hari aku sajikan senyuman termanisku tapi rupanya ia
tetap khawatir tentang keadaanku. Tuhan, aku sungguh mencintainya.
“Abi, Abi yang sangat Umi cintai.
Terima kasih sudah khawatir dengan Umi. Umi memang dijauhin teman-teman Umi,
tapi Umi berusaha agar tidak dijauhi Allah. mereka hanya belum paham tentang
alasan Umi ini saja. Selama Abi mengijinkan Umi seperti ini akan Umi turuti,
tetapi jika Abi berkehendak lain Umi akan melepas cadar Umi.”
“Tidak Umi, Umi seperti ini dengan
alasan karena Allah. Dan Abi hanya seorang manusia, punya hak apa Abi melarang
Umi. Abi hanya khawatir saja.”
“Sepertinya semua wanita akan iri
deh Bi dengan Umi.”
“Loh memang kenapa Mi?”
“Karena Umi memiliki suami yang
luar biasa, bahkan Umi yakin bidadari di surga sangat merindukan kehadiran Abi
di sana tetapi sekarang justru asyik berduaan seperti ini dengan Umi. Betapa
beruntngnya Umi dicintai oleh seorang laki-laki seperti Abi. Seorang laki-laki
yag dirindukan bidadari tetapi lebih memilih mencintai penduduk dunia yang
masih memiliki dosa ini.”
“Cie Umi sekarang puitis banget.”
Kami berdua saling tertawa,
rasanya mulai hilang keraguan ini. Betapa hebatnya ciptaan Allah yang disebut
cinta ini, ia bisa mengubah hati yang penuh keraguan menjadi kemantapan. Duhai
Bilal suamiku, terima kasih atas cinta dan kasih sayangmu, terima kasih untuk
uluran tangan dengan penuh senyuman saat aku terpuruk menghadapi ujian
dari-Nya. Sungguh engkau laki-laki yang dirindukan bidadari surga.