Web Hosting

Kamis, 07 Mei 2015

Bukan Bidadari

      Yang ku inginkan hanya sebuah kesabaran. Sedikit lebih bersabar akan hal yang tengah aku hadapi kini. Setiap doaku selalu dan selalu sabar yang aku minta. Aku berharap dengan bertemankan sabar kesedihanku akan sirna. Dan bahkan keraguan yang mulai merambati hatiku akan padam.

Terlalu sering aku melihat ke belakang, hingga rasa penyesalanku menjadi memuncak karenanya. Memang itu adalah sebuah cerita yang berada di halaman awal hidupku, tapi kini aku telah membuat halaman baru dan sebuah cerita yang baru.

Namun doaku takkan pernah terhenti, hanya kepada-Mu aku sandarkan diri ini. Aku akan tetap menjalani hidup ini bersama dengan semua cerita dukanya. Dengan tetap memakai cadar sebagai saksinya.

Hari ini mata mereka masih tetap tajam tanpa keramahan melihatku. Anak-anak selalu riuh memanggilku ‘ninja’ tapi aku percaya dan aku yakini ini jalanku. Ini Zakiya yang baru, yang lebih mencintai segala hal di balik mata yang tertutup daripada apa yang ia lihat selama ia di dunia ini.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

“Lagi apa Bi?” tanyaku yang penasaran melihat suamiku menggali tanah di halaman.

“Ini loh sedang menanam terong. Tadi lancar tidak Mi acaranya?”

“Alhamdulillah Bi. Yang hadir banyak, dan kata panitianya mereka puas dengan apa yang Umi sampaikan di pengajian tadi. Bahkan mereka minta Umi untuk mengisi pengajian lagi bulan depan,” ujarku.

Suamiku tersenyum mendengar penuturanku yang penuh semangat. Namanya Bilal, walau usianya dua tahun lebih muda dari aku tetapi dia bisa menjadi imam yang sangat aku cintai. Dia hanyalah seorang karyawan di sebuah perusahaan tekstil sebagai kepala gudang. Dia juga yang menjadi alasanku untuk mengenakan cadar ini.

Pernikahan kami sudah berjalan selama sembilan tahun. Pertama kali kami menjadi sepasang suami istri dia sudah memperingatkanku tentang pakaianku yang masih tidak pantas untuk seorang muslimah. Pertengkaran kecil kerap menghampiri kami dengan topik yang selalu saja sama, pakaianku.

Pelan-pelan aku mulai tersadar betapa ia sangat mencintaiku. Bukannya ia tidak mau menerimaku apa adanya tetapi dia berusaha menjadikanku seorang muslimah sejati. Dia tidak pernah bernada tinggi padaku, suaranya halus bahkan terlalu halus untuk seorang laki-laki. Tapi beginilah aku, bukannya bersyukur tapi aku melawannya dengan berbagai alasan dariku.

“Umi, Abi hanya ingin Umi terlihat cantik di mata Allah, percuma Umi cantik di mata Abi tapi di mata Allah tidak.” Itulah yang ia katakana untuk membujukku mengenakan jilbab berulang kali. Bahkan aku masih ingat apa yang ia katakana saat aku mengutarakan niatku untuk bercadar, “Umi yakin? Abi sudah cinta kepada Umi sejak pertama bertemu. Bahkan Abi lebih cinta lagi ketika Umi memutuskan untuk berjilbab seperti sekarang ini. Dan sekarang, Umi memutuskan untuk bercadar, apa cinta Abi masih kurang?”

“Masih kurang Abi sayang.”

“Kurang apa Umi? Apa karena kita belum memiliki seorang anak?”

“Bukan itu Abi,” kataku tersenyum.

“Lalu kurang apa Mi?”

“Kurang cinta dari Allah Bi. Umi ingin Allah mencintai Umi sama besarnya dengan cinta Abi ke Umi.”

Aku dibuatnya tersenyum-senyum sendiri jika mengingat raut wajahnya saat itu. Dia langsung memelukku dengan erat sekali. Dia begitu mendukungku ketika tahu alasanku mengenakan cadar. Semenjak itu dia semakin semangat mengajakku menghadiri berbagai pengajian.

Akan tetapi bukan hidup jika tidak memiliki cerita duka. Secara perlahan para tetanggaku mulai memandang dengan sebelah mata. Mereka mulai menganggapku masuk suatu aliran tertentu. Aku hanya bisa mengusap dada meminta kesabaran melihatnya.

“Umi,” panggil suamiku.

“Apa Bi?” aku menghampirinya dari dapur. Di tersenyum begitu melihat aku berdiri di sampingnya siap melayani apapun yang ia perintahkan. Dia hanya menepuk-nepuk sofa di sampingnya memintaku untuk duduk di sampingnya. Aku tersenyum dan menuruti perintahnya.

“Umi menyesal tidak sudah pakai cadar?”

“Tidak Bi,” gelengku.

“Abi hanya khawatir, Umi mulai dijauhi teman-teman Umi yang dulu. Abi tidak pernah memaksa Umi utuk bercadar tetapi kalau Abi boleh jujur, Abi suka Umi yang seperti sekarang ini.”

Aku tersenyum mendengar penuturannya. Betapa beruntungnya aku memiliki suami yang begitu peduli dengan keadaanku. Walau setiap hari aku sajikan senyuman termanisku tapi rupanya ia tetap khawatir tentang keadaanku. Tuhan, aku sungguh mencintainya.

“Abi, Abi yang sangat Umi cintai. Terima kasih sudah khawatir dengan Umi. Umi memang dijauhin teman-teman Umi, tapi Umi berusaha agar tidak dijauhi Allah. mereka hanya belum paham tentang alasan Umi ini saja. Selama Abi mengijinkan Umi seperti ini akan Umi turuti, tetapi jika Abi berkehendak lain Umi akan melepas cadar Umi.”

“Tidak Umi, Umi seperti ini dengan alasan karena Allah. Dan Abi hanya seorang manusia, punya hak apa Abi melarang Umi. Abi hanya khawatir saja.”

“Sepertinya semua wanita akan iri deh Bi dengan Umi.”

“Loh memang kenapa Mi?”

“Karena Umi memiliki suami yang luar biasa, bahkan Umi yakin bidadari di surga sangat merindukan kehadiran Abi di sana tetapi sekarang justru asyik berduaan seperti ini dengan Umi. Betapa beruntngnya Umi dicintai oleh seorang laki-laki seperti Abi. Seorang laki-laki yag dirindukan bidadari tetapi lebih memilih mencintai penduduk dunia yang masih memiliki dosa ini.”

“Cie Umi sekarang puitis banget.”

Kami berdua saling tertawa, rasanya mulai hilang keraguan ini. Betapa hebatnya ciptaan Allah yang disebut cinta ini, ia bisa mengubah hati yang penuh keraguan menjadi kemantapan. Duhai Bilal suamiku, terima kasih atas cinta dan kasih sayangmu, terima kasih untuk uluran tangan dengan penuh senyuman saat aku terpuruk menghadapi ujian dari-Nya. Sungguh engkau laki-laki yang dirindukan bidadari surga.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar