Pak Soni, tubuhnya mungkin tak
sama dengan kebanyakan orang. Kecelakaan 23 tahun yang lalu telah merenggut
tangan kanannya. Tidak ada yang menyangka dia akan mengalami kisah tragis di
masa mudanya. Setelah kejadian itu semuanya berubah. Segala hal yang dulunya ia
kerjakan dengan tangan kanan kini ia harus belajar menggunakan tangan kirinya.
Dia harus putus sekolah karena
keadaannya itu. Walaupun dia memiliki kecerdasan di atas rata-rata, tapi
keadaan fisiknyalah yang menjadi alasan bagi sekolah mengeluarkannya. Soni muda
pun hanya bisa pasrah menerima keputusan sekolah. Dia sendiri sadar bahwa ia
belum bisa menggunakan tangan kirinya.
Orang tuanya menawari untuk
sekolah di SLB tapi ia menolak. Ia bersikeras untuk berada di lingkungan yang
normal, tapi semua sudah terjadi. Sekarang dia tak lagi bisa disebut normal.
Puluhan sekolah menolaknya dengan alasan yang sama.
Melihat kenyataan yang ada, Soni
muda menjadi menutup diri. Ia merasa bahwa dunia tidak adil kepadanya. Soni
muda berubah menjadi seorang yang pemarah. Ia tak bisa menerima keadaan dirinya
yang sekarang. Ejekan teman-temannya membuat kemarahannya semakin menjadi tak
terkendali.
Tuhan pun tiada henti ia umpat.
Inikah perbuatan Sang Maha Pengasih kepada hamba-Nya? Beginikah cara Tuhan
menyayangi hamba-Nya? Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, Soni tak
juga berubah. Dia menjadi pemarah dan anti sosial.
Melihat itu semua orang tuanya
menjadi sering bertengkar. Mereka saling meyalahkan satu sama lain. Bahkan
mereka memutuskan untuk bercerai karena tidak bisa membantu Soni. Mereka
beranggapan jika mereka berpisah, mereka akan berhenti bertengkar dan akan
lebih fokus pada Soni untuk memulihkan semangatnya.
Tetapi Soni justru semakin menjadi
tertekan oleh sikap orang tuanya. Ia semakin merasa bahwa dirinyalah penyebab
masalah yang dihadapi orang tuanya sekarang. Dia terus menyalahkan dirinya
sendiri yang tidak beguna sekarang.
“Soni, waktunya makan Nak,”
panggil ibunya dari luar kamar. Tidak ada sahutan dari dalam. Ibunya mencoba
untuk mengulang perkataannya tapi tetap saja hening. Perasaaan khawatir mulai
muncul di benaknya. Ia segera memanggil suaminya untuk melihat keadaan Soni
yang tidak seperti biasanya hari ini.
Begitu pintu didobrak suaminya,
terlihat Soni tergeletak dengan mulut berbusa. Tak ayal kedua orang tuanya
langsung panik melihat anaknya mencoba bunuh diri. Sudah dua jam Soni berada di
ruang ICU mengeluarkan racun serangga dari dalam tubuhnya. Doa tidak pernah
berhenti sedetikpun dari mulut orang tuanya.
“Soni, maafkan kami Nak,” kata
ayahnya. Ibunya menangis di sebelahnya tak kuasa berkata apa-apa melihat
keadaan putranya yang tebaring lemah di hadapannya.
“Semuanya karena Soni,” ucap Soni
lirih.
“Apa maksud kamu?”
“Memang benar kan, semua salah
Soni? Karena Soni kalian bertengkar. Karena keadaan Soni yang sekarang kalian
ingin bercerai. Soni tidak berguna bagi kalian, Soni merasa kalau Soni pergi
kalian akan bahagia hidup bersama. Soni sudah tidak dibutuhkan lagi di keluaga
ini, makanya...”
Plak! Sebuah tamparan dari ayahnya
menghampiri pipi kirinya. “Siapa yang bilang kami tidak membutuhkanmu. Kami
selalu mendoakan kebahagiaanmu. Memang kami sering bertengkar, kami ingin
bercerai, tapi itu semua untukmu. Kami merasa jika kami terus bersama dan
bertengkar di depanmu, itu akan membuatmu semakin bersedih. Maafkan ayah yang
tidak tahu penderitaanmu, pasti sulit rasanya. Tapi kami membutuhkanmu, kami
menyayangimu lebih dari apapun.”
“Jika kamu tidak ingin kami
bercerai, akan kami lakukan, demi kebahagiaanmu. Jangan memikul bebamu sendiri
Nak, keluarlah, bicaralah, tersenyumlah kembali seperti dulu. Kami tak mengenal
anak kami yang sekarang, kami hanya ingin anak kami yang dulu kembali. Kembali
ke dalam keluarga kami, ke dalam keluarga yang penuh dengan senyuman hangat. Keluarga
tempatmu kembali saat dirimu ditolak dunia sekalipun,” kata ibunya di sela
tangisnya.
Soni sadar atas apa yang ia
perbuat selama ini. Melihat orang tuanya menangis di hadapannya membuat ia
menyesali perbuatannya. Ia telah menyiksa batin kedua orang tuanya. Ia membuat
mereka tertekan atas perubahan sikapnya. Ia telah lupa bahwa keluarga adalah
tempat ia kembali, setelah susah maupun senang sudah ia lalui.
Setelah kejadian itu Soni perlahan
menjadi Soni yang dahulu kala. Soni yang supel, yang ramah, yang renyah
tawanya. Soni menemukan kembali dirinya yang dulu. Ia bangkit dari
keterpurukannya selama ini. Ia ingin membayar waktu yang ia lewatkan saat ia
tersesat terlalu jauh dalam kesedihannya. Soni yang sekarang sudah berubah.
Soni yang dulunya menutup diri sekarang sudah bisa menerima seperti apa
hidupnya.
Suara sumbang mungkin masih
berbisik di samping telinganya, tetapi ia telah memiliki tempat ia kembali,
keluarga. Ia hanya yakin Tuhan menciptakan dunia dengan taburan harapan yang
tiada terkira jumlahnya. Tergantung bagaimana ia menemukan harapan itu dari
dalam dirinya yang sekarang.
Pak Soni yang kini sudah berusia
41 tahun, tak pernah tersirat di wajahnya raut kesedihan. Kini tak pernah ia
mempertanyakan takdir yang Tuhan berikan padanya. Baginya hidup terlalu
berharga untuk dihabiskan dalam penyesalan. Dia harus terus melangkah maju demi
anak dan istrinya. Ia selalu melangkah dengan tersenyum.
Jika dulu ia hanya bisa duduk
memeluk lututnya sendiri, kini ia bisa tertawa dengan tulus. Dia sudah memiliki
2 toko pakaian yang memiliki pelanggan tetap. Dia memiliki istri yang tetap
tersenyum melihatnya tanpa tangan kanan. Dia memiliki seorang anak yang selalu
bangga menceritakan seperti apa ayahnya.
Langit biru masih membentang luas,
dan itu artinya kita masih diberikan kesempatan melihat matahari esok hari.
Angin yang terus berhembus akan membawa setiap doa yang kita ucapkan untuk
diamini setiap makhluk di bumi. Jangan berhenti berlari dan berdoa, maka kita
hanya akan tertawa saat mengingat hari ini 10 tahun yang akan datang.