Web Hosting

Rabu, 13 Mei 2015

Langit Biru Tak Berujung

   Pak Soni, tubuhnya mungkin tak sama dengan kebanyakan orang. Kecelakaan 23 tahun yang lalu telah merenggut tangan kanannya. Tidak ada yang menyangka dia akan mengalami kisah tragis di masa mudanya. Setelah kejadian itu semuanya berubah. Segala hal yang dulunya ia kerjakan dengan tangan kanan kini ia harus belajar menggunakan tangan kirinya.
Dia harus putus sekolah karena keadaannya itu. Walaupun dia memiliki kecerdasan di atas rata-rata, tapi keadaan fisiknyalah yang menjadi alasan bagi sekolah mengeluarkannya. Soni muda pun hanya bisa pasrah menerima keputusan sekolah. Dia sendiri sadar bahwa ia belum bisa menggunakan tangan kirinya.
Orang tuanya menawari untuk sekolah di SLB tapi ia menolak. Ia bersikeras untuk berada di lingkungan yang normal, tapi semua sudah terjadi. Sekarang dia tak lagi bisa disebut normal. Puluhan sekolah menolaknya dengan alasan yang sama.
Melihat kenyataan yang ada, Soni muda menjadi menutup diri. Ia merasa bahwa dunia tidak adil kepadanya. Soni muda berubah menjadi seorang yang pemarah. Ia tak bisa menerima keadaan dirinya yang sekarang. Ejekan teman-temannya membuat kemarahannya semakin menjadi tak terkendali.
Tuhan pun tiada henti ia umpat. Inikah perbuatan Sang Maha Pengasih kepada hamba-Nya? Beginikah cara Tuhan menyayangi hamba-Nya? Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, Soni tak juga berubah. Dia menjadi pemarah dan anti sosial.
Melihat itu semua orang tuanya menjadi sering bertengkar. Mereka saling meyalahkan satu sama lain. Bahkan mereka memutuskan untuk bercerai karena tidak bisa membantu Soni. Mereka beranggapan jika mereka berpisah, mereka akan berhenti bertengkar dan akan lebih fokus pada Soni untuk memulihkan semangatnya.
Tetapi Soni justru semakin menjadi tertekan oleh sikap orang tuanya. Ia semakin merasa bahwa dirinyalah penyebab masalah yang dihadapi orang tuanya sekarang. Dia terus menyalahkan dirinya sendiri yang tidak beguna sekarang.
“Soni, waktunya makan Nak,” panggil ibunya dari luar kamar. Tidak ada sahutan dari dalam. Ibunya mencoba untuk mengulang perkataannya tapi tetap saja hening. Perasaaan khawatir mulai muncul di benaknya. Ia segera memanggil suaminya untuk melihat keadaan Soni yang tidak seperti biasanya hari ini.
Begitu pintu didobrak suaminya, terlihat Soni tergeletak dengan mulut berbusa. Tak ayal kedua orang tuanya langsung panik melihat anaknya mencoba bunuh diri. Sudah dua jam Soni berada di ruang ICU mengeluarkan racun serangga dari dalam tubuhnya. Doa tidak pernah berhenti sedetikpun dari mulut orang tuanya.
“Soni, maafkan kami Nak,” kata ayahnya. Ibunya menangis di sebelahnya tak kuasa berkata apa-apa melihat keadaan putranya yang tebaring lemah di hadapannya.
“Semuanya karena Soni,” ucap Soni lirih.
“Apa maksud kamu?”
“Memang benar kan, semua salah Soni? Karena Soni kalian bertengkar. Karena keadaan Soni yang sekarang kalian ingin bercerai. Soni tidak berguna bagi kalian, Soni merasa kalau Soni pergi kalian akan bahagia hidup bersama. Soni sudah tidak dibutuhkan lagi di keluaga ini, makanya...”
Plak! Sebuah tamparan dari ayahnya menghampiri pipi kirinya. “Siapa yang bilang kami tidak membutuhkanmu. Kami selalu mendoakan kebahagiaanmu. Memang kami sering bertengkar, kami ingin bercerai, tapi itu semua untukmu. Kami merasa jika kami terus bersama dan bertengkar di depanmu, itu akan membuatmu semakin bersedih. Maafkan ayah yang tidak tahu penderitaanmu, pasti sulit rasanya. Tapi kami membutuhkanmu, kami menyayangimu lebih dari apapun.”
“Jika kamu tidak ingin kami bercerai, akan kami lakukan, demi kebahagiaanmu. Jangan memikul bebamu sendiri Nak, keluarlah, bicaralah, tersenyumlah kembali seperti dulu. Kami tak mengenal anak kami yang sekarang, kami hanya ingin anak kami yang dulu kembali. Kembali ke dalam keluarga kami, ke dalam keluarga yang penuh dengan senyuman hangat. Keluarga tempatmu kembali saat dirimu ditolak dunia sekalipun,” kata ibunya di sela tangisnya.
Soni sadar atas apa yang ia perbuat selama ini. Melihat orang tuanya menangis di hadapannya membuat ia menyesali perbuatannya. Ia telah menyiksa batin kedua orang tuanya. Ia membuat mereka tertekan atas perubahan sikapnya. Ia telah lupa bahwa keluarga adalah tempat ia kembali, setelah susah maupun senang sudah ia lalui.
Setelah kejadian itu Soni perlahan menjadi Soni yang dahulu kala. Soni yang supel, yang ramah, yang renyah tawanya. Soni menemukan kembali dirinya yang dulu. Ia bangkit dari keterpurukannya selama ini. Ia ingin membayar waktu yang ia lewatkan saat ia tersesat terlalu jauh dalam kesedihannya. Soni yang sekarang sudah berubah. Soni yang dulunya menutup diri sekarang sudah bisa menerima seperti apa hidupnya.
Suara sumbang mungkin masih berbisik di samping telinganya, tetapi ia telah memiliki tempat ia kembali, keluarga. Ia hanya yakin Tuhan menciptakan dunia dengan taburan harapan yang tiada terkira jumlahnya. Tergantung bagaimana ia menemukan harapan itu dari dalam dirinya yang sekarang.
Pak Soni yang kini sudah berusia 41 tahun, tak pernah tersirat di wajahnya raut kesedihan. Kini tak pernah ia mempertanyakan takdir yang Tuhan berikan padanya. Baginya hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dalam penyesalan. Dia harus terus melangkah maju demi anak dan istrinya. Ia selalu melangkah dengan tersenyum.
Jika dulu ia hanya bisa duduk memeluk lututnya sendiri, kini ia bisa tertawa dengan tulus. Dia sudah memiliki 2 toko pakaian yang memiliki pelanggan tetap. Dia memiliki istri yang tetap tersenyum melihatnya tanpa tangan kanan. Dia memiliki seorang anak yang selalu bangga menceritakan seperti apa ayahnya.
Langit biru masih membentang luas, dan itu artinya kita masih diberikan kesempatan melihat matahari esok hari. Angin yang terus berhembus akan membawa setiap doa yang kita ucapkan untuk diamini setiap makhluk di bumi. Jangan berhenti berlari dan berdoa, maka kita hanya akan tertawa saat mengingat hari ini 10 tahun yang akan datang.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar