Angin berhembus cukup menyegarkan
sore ini. Rasanya begitu menyenangkan duduk di teras seperti ini sambil membaca
buku sembari menikmati segelas kopi. Aku lihat jam tanganku, pukul empat.
Sebentar lagi anakku Bilal pulang sekolah.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Eh jagoan ayah
sudah pulang,” kataku mengusap rambutnya.
“Ayah, Kakak boleh bertanya tidak?”
kata anakkku.
“Tanya apa sayang?”
“Ayah kok enggak pergi haji Yah?”
tanyanya polos.
Aku sedikit tercengang mendengar pertanyaannya.
Sejenak aku pandang istriku yang menahan tawanya dengan tangan. “Memangnya kenapa
Kak?”
“Tadi di sekolah Kakak belajar rukun
Islam Yah. Ada syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji. Nah Ayah kan belum haji
Yah, terus kata Pak Ustadz haji itu wajib Yah untuk yang sudah mampu. Ayah kan sudah
mampu. Buktinya bisa beliin Kakak mainan yang banyak.”
Aku tersenyum mendengar penuturan polosnya,
menggemaskan sekali caranya bicara. Aku lihat istriku yang terus saja tersenyum
melihatku dikejar oleh pertanyaan anakku. “Bilal sudah Tanya Bunda?” tanyaku.
“Kata Bunda kakak disuruh tanya sama Ayah.” Aku hanya bisa mengangguk-angguk mendengar
penjelasannya, rupanya aku adalah korban istriku. Pantas saja dari tadi ia terus
menerus tersenyum melihatku. Jadi ini alasan di balik senyumannya.
“Haji itu untuk yang sudah siap sayang.”
“Jadi Ayah belum siap ya Yah?”
Aku tersenyum melihatnya begitu polos.
Betapa pintarnya ia sekarang membuat ayahnya kelabakan dengan pertanyaannya.
Mungkin ia sudah mulai memasuki masa-masa ‘bertanya’. ”Kakak ganti baju dulu ya.
Nanti setelah itu makan terus belajar sama ayah apa itu haji.”
“Janji ya Yah.”
Aku menganguk pelahan memberikan ia
kepastian. Aku lihat ia berlari penuh semangat kekamarnya. Haji, sampai sekarang
belum pernah terlintas di benakku tentangnya. Menjadi tamu Allah adalah harapan
setiap muslim tetapi aku belum berharap demikian. Aku tarik nafas dalam-dalam memikirkan
pertanyaan kecil anakku.
“Bunda tega nih.”
“Bilal tadi juga Tanya Bunda tentang
haji. Karena Bunda enggak tahu Bunda suruh Tanya ke Ayah deh.”
“Wah bunda harus tanggung jawab nih.
Gara-gara Bunda Ayah jadi pusing sekarang. Bunda harus masak makanan kesukaannya
Ayah hari ini.”
“Ayah kalau cari alasan bisa aja ya.”
Aku tertawa melihat tingkah manja istriku.
Anakku benar–benar penasaran tentang haji rupanya. Aku mencoba browsing
di internet tentang apa yang harus aku jelaskan tentang haji. Hingga tibalah aku
kepada sebuah fiman Allah, Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Sedikit bergetar hatiku membacanya. Entah mengapa selama ini aku melupakan rukun islam yang kelima ini. Kenapa aku menganggap seolah-olah haji itu hanya pelengkap rukun islam. Astaghfirullah, bagaimana bisa aku memiliki pemikiran seperti itu.
“Bagimana Yah?” tanya anakku setelah
makan malam. Wajah ingin tahunya membuatku tidak tahan untuk mencium pipinya.
“Sayang, orang pergi haji itu ada aturannya
sayang. Yang ingin jadi tamu Allah itu banyak banget. Enggak cuma ayah dan bunda.
Jadi ayah dan bunda harus antri dulu kalau mau haji sayang.”
“Jadi enggak bisa langsung berangkat
ya Yah?”
“Enggak sayang. Nanti kalau Ayah
pergi haji Kakak di rumah sama siapa? Makanya Ayah dan Bunda pergi hajinya nanti
kalau Kakak sudah besar, jadi Kakak enggak takut ditinggal Ayah dan Bunda pergi
haji.”
“Kalau begitu Kakak harus makan
yang banyak dong Yah biar cepat besar terus Ayah dan Bunda bisa pergi haji
deh.”
“Iya, tapi ingat pesan Nabi apa hayo?”
“Makanlah setelah lapar berhentilah
sebelum kenyang,” jawabnya dengan gaya menggemaskannya.
“Pintar.”
Sepertinya dia sudah cukup terpuaskan
dengan alasan yang aku berikan. Aku mendekati istriku yang tengah mencuci piring
di dapur. “Bunda kita nabung yuk?”
“Nabung?” Tanya istriku setengah heran.
“Iya Bunda, nabung buat naik
haji.”
“Gara-gara Bilal ya?”
“Iya.Tadi ayah bilang kalau dia sudah
besar kita akan naik haji. Ayah jadi enggak tega bohong sama dia.”
Istriku hanya terseyum mengiyakan.
Sebuah hal yang selama ini belum pernah terlintas di benak kami. Kini setiap doa
kami tersemat doa baru, sempatkan kami menjadi tamu-Mu, biarkan kami mengadu di
rumah-Mu, biarkan kami menangis di tanah haram-Mu. Sebuah pertanyaan penuh kepolosan
justru yang menyadarkan kami apa itu sebenarnya rukun Islam. Terima kasih Bilal
atas pertanyaan polosmu.