Web Hosting

Sabtu, 09 Mei 2015

Pertanyaan Polos

Pertanyaan Polos
Angin berhembus cukup menyegarkan sore ini. Rasanya begitu menyenangkan duduk di teras seperti ini sambil membaca buku sembari menikmati segelas kopi. Aku lihat jam tanganku, pukul empat. Sebentar lagi anakku Bilal pulang sekolah.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Eh jagoan ayah sudah pulang,” kataku mengusap rambutnya.
“Ayah, Kakak boleh bertanya tidak?” kata anakkku.

“Tanya apa sayang?”
“Ayah kok enggak pergi haji Yah?” tanyanya polos.
Aku sedikit tercengang mendengar pertanyaannya. Sejenak aku pandang istriku yang menahan tawanya dengan tangan. “Memangnya kenapa Kak?”
“Tadi di sekolah Kakak belajar rukun Islam Yah. Ada syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji. Nah Ayah kan belum haji Yah, terus kata Pak Ustadz haji itu wajib Yah untuk yang sudah mampu. Ayah kan sudah mampu. Buktinya bisa beliin Kakak mainan yang banyak.”
Aku tersenyum mendengar penuturan polosnya, menggemaskan sekali caranya bicara. Aku lihat istriku yang terus saja tersenyum melihatku dikejar oleh pertanyaan anakku. “Bilal sudah Tanya Bunda?” tanyaku. “Kata Bunda kakak disuruh tanya sama Ayah.” Aku hanya bisa mengangguk-angguk mendengar penjelasannya, rupanya aku adalah korban istriku. Pantas saja dari tadi ia terus menerus tersenyum melihatku. Jadi ini alasan di balik senyumannya.
“Haji itu untuk yang sudah siap sayang.”
“Jadi Ayah belum siap ya Yah?”
Aku tersenyum melihatnya begitu polos. Betapa pintarnya ia sekarang membuat ayahnya kelabakan dengan pertanyaannya. Mungkin ia sudah mulai memasuki masa-masa ‘bertanya’. ”Kakak ganti baju dulu ya. Nanti setelah itu makan terus belajar sama ayah apa itu haji.”
“Janji ya Yah.”
Aku menganguk pelahan memberikan ia kepastian. Aku lihat ia berlari penuh semangat kekamarnya. Haji, sampai sekarang belum pernah terlintas di benakku tentangnya. Menjadi tamu Allah adalah harapan setiap muslim tetapi aku belum berharap demikian. Aku tarik nafas dalam-dalam memikirkan pertanyaan kecil anakku.
“Bunda tega nih.”
“Bilal tadi juga Tanya Bunda tentang haji. Karena Bunda enggak tahu Bunda suruh Tanya ke Ayah deh.”
“Wah bunda harus tanggung jawab nih. Gara-gara Bunda Ayah jadi pusing sekarang. Bunda harus masak makanan kesukaannya Ayah hari ini.”
“Ayah kalau cari alasan bisa aja ya.”
Aku tertawa melihat tingkah manja istriku. Anakku benar–benar penasaran tentang haji rupanya. Aku mencoba browsing di internet tentang apa yang harus aku jelaskan tentang haji. Hingga tibalah aku kepada sebuah fiman Allah, Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Sedikit bergetar hatiku membacanya. Entah mengapa selama ini aku melupakan rukun islam yang kelima ini. Kenapa aku menganggap seolah-olah haji itu hanya pelengkap rukun islam. Astaghfirullah, bagaimana bisa aku memiliki pemikiran seperti itu.
“Bagimana Yah?” tanya anakku setelah makan malam. Wajah ingin tahunya membuatku tidak tahan untuk mencium pipinya.
“Sayang, orang pergi haji itu ada aturannya sayang. Yang ingin jadi tamu Allah itu banyak banget. Enggak cuma ayah dan bunda. Jadi ayah dan bunda harus antri dulu kalau mau haji sayang.”
“Jadi enggak bisa langsung berangkat ya Yah?”
“Enggak sayang. Nanti kalau Ayah pergi haji Kakak di rumah sama siapa? Makanya Ayah dan Bunda pergi hajinya nanti kalau Kakak sudah besar, jadi Kakak enggak takut ditinggal Ayah dan Bunda pergi haji.”
“Kalau begitu Kakak harus makan yang banyak dong Yah biar cepat besar terus Ayah dan Bunda bisa pergi haji deh.”
“Iya, tapi ingat pesan Nabi apa hayo?”
“Makanlah setelah lapar berhentilah sebelum kenyang,” jawabnya dengan gaya menggemaskannya.
“Pintar.”
Sepertinya dia sudah cukup terpuaskan dengan alasan yang aku berikan. Aku mendekati istriku yang tengah mencuci piring di dapur. “Bunda kita nabung yuk?”
“Nabung?” Tanya istriku setengah heran.
“Iya Bunda, nabung buat naik haji.”
“Gara-gara Bilal ya?”
“Iya.Tadi ayah bilang kalau dia sudah besar kita akan naik haji. Ayah jadi enggak tega bohong sama dia.”
Istriku hanya terseyum mengiyakan. Sebuah hal yang selama ini belum pernah terlintas di benak kami. Kini setiap doa kami tersemat doa baru, sempatkan kami menjadi tamu-Mu, biarkan kami mengadu di rumah-Mu, biarkan kami menangis di tanah haram-Mu. Sebuah pertanyaan penuh kepolosan justru yang menyadarkan kami apa itu sebenarnya rukun Islam. Terima kasih Bilal atas pertanyaan polosmu.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar