Web Hosting

Rabu, 20 Mei 2015

Nasib! Nasib!

Nasib! Nasib!
Sejenak semangatku mulai terkalahkan oleh teriknya matahari. Terik yang begitu menyengat membuatku berhenti menantang surya. Apalagi dengan keadaanku yang seperti ini memang sebaiknya aku menaruh pantatku untuk sementara.


Aku letakkan kedua kedua tongkatku di sampingku. Aku amati sejenak temanku ini. Mulai rapuh rupanya. “Tuhan, rasanya melelahkan,” batinku. Hidup di jalanan memang keras seperti kata orang. Mungkin memang sudah takdir aku menjadi orang jalanan.


“Kapan cerita hidupku berubah? Punya rumah, punya istri, punya anak, punya entahlah apalagi. Semua cuma dalam baying saja. Untuk orang yang seperti aku ini yang sudah menjadi ‘profesional’ di jalanan memang ini keahlianku.


Aku ambil recehan di sakuku. Mulai ku hitung setiap koin-koin hasil kebaikan hati para pengguna jalan. Peluh yang membasahi tubuhku terasa menyegarkan ketika angin membelainya. Terasa lebih segar ketika sepuluh ribu sudah berada di tanganku kini. Terbayang pesta untuk malam ini. Pesta khusus untuk aku.


Nasi kucing jumbo 2 bungkus dengan telur dan segelas kopi, membuatku terlena sesaat. “Andai setiap hari seperti ini. Andai dunia ini dipenuhi orang-orang yang ringan tangannya.” Aku tersenyum sendiri dengan apa yang aku pikirkan, memangnya ini dunia khayalan. Ini itu dunia nyata, dunia dimana suka dan duka silih berganti mengisi cerita hidupku.


Siapa juga yang ingin hidup seperti ini. Kalau aku boleh memilih aku akan memilih dilahirkan sebagai anak presiden atau siapalah terserah. Yang penting aku bisa makan tanpa berpikir apapun. Memang sudah nasibku sepertinya, orang tuaku saja entah kemana. Bahkan entah siapa yang menjadi orang tuaku.


Melihat umurku yang sekarang mungkin mereka sudah meninggal. Dan mungkin juga mereka sedang menghadapi pengadilan Tuhan dengan kasus membuang bayi. Jika berpikir tentang mati, bagaimana nantinya kalau aku mati? Apa ada yang merasa kehilangan? Apa ada yang akan bercerita tentang siapa aku ini? Entahlah, dunia ini bukan dunia milikku.


Rasanya sudah cukup lemas otot-otot tubuhku ini. Aku harus segera beranjak dan berdoa. Siapa tahu tiga ribu perak bisa menjadi bonus di luar gajiku dari Tuhan untuk hari ini. “Tuhan, aku mengemis bukan karena aku mau. Aku pun memulung, berjualan rokok dan apapun aku lakukan. Aku tahu dunia ini adalah rumah bagi yang tak punya rumah, harta bagi yang tak berharta dan aku percayai semua itu. Tuhan, aku jalani hidup tanpa penyesalan, aku syukuri hidup tanpa keraguan. Hanya sedikit pertanyaan dariku, Tuhan kapan nasibku bisa berubah? Sedikit saja Tuhan!”

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar