Sejenak semangatku mulai terkalahkan
oleh teriknya matahari. Terik yang begitu menyengat membuatku berhenti menantang
surya. Apalagi dengan keadaanku yang seperti ini memang sebaiknya aku menaruh pantatku
untuk sementara.
Aku letakkan kedua kedua tongkatku
di sampingku. Aku amati sejenak temanku ini. Mulai rapuh rupanya. “Tuhan,
rasanya melelahkan,” batinku. Hidup di jalanan memang keras seperti kata orang.
Mungkin memang sudah takdir aku menjadi orang jalanan.
“Kapan cerita hidupku berubah?
Punya rumah, punya istri, punya anak, punya entahlah apalagi. Semua cuma dalam baying
saja. Untuk orang yang seperti aku ini yang sudah menjadi ‘profesional’ di
jalanan memang ini keahlianku.
Aku ambil recehan di
sakuku. Mulai ku hitung setiap koin-koin hasil kebaikan hati para pengguna jalan.
Peluh yang membasahi tubuhku terasa menyegarkan ketika angin membelainya. Terasa
lebih segar ketika sepuluh ribu sudah berada di tanganku kini. Terbayang pesta untuk
malam ini. Pesta khusus untuk aku.
Nasi kucing jumbo 2
bungkus dengan telur dan segelas kopi, membuatku terlena sesaat. “Andai setiap hari
seperti ini. Andai dunia ini dipenuhi orang-orang yang ringan tangannya.” Aku tersenyum
sendiri dengan apa yang aku pikirkan, memangnya ini dunia khayalan. Ini itu dunia
nyata, dunia dimana suka dan duka silih berganti mengisi cerita hidupku.
Siapa juga yang ingin hidup
seperti ini. Kalau aku boleh memilih aku akan memilih dilahirkan sebagai anak presiden
atau siapalah terserah. Yang penting aku bisa makan tanpa berpikir apapun. Memang
sudah nasibku sepertinya, orang tuaku saja entah kemana. Bahkan entah siapa
yang menjadi orang tuaku.
Melihat umurku yang
sekarang mungkin mereka sudah meninggal. Dan mungkin juga mereka sedang menghadapi
pengadilan Tuhan dengan kasus membuang bayi. Jika berpikir tentang mati,
bagaimana nantinya kalau aku mati? Apa ada yang merasa kehilangan? Apa ada yang
akan bercerita tentang siapa aku ini? Entahlah, dunia ini bukan dunia milikku.
Rasanya sudah cukup lemas
otot-otot tubuhku ini. Aku harus segera beranjak dan berdoa. Siapa tahu tiga ribu
perak bisa menjadi bonus di luar gajiku dari Tuhan untuk hari ini. “Tuhan, aku
mengemis bukan karena aku mau. Aku pun memulung, berjualan rokok dan apapun aku
lakukan. Aku tahu dunia ini adalah rumah bagi yang tak punya rumah, harta bagi
yang tak berharta dan aku percayai semua itu. Tuhan, aku jalani hidup tanpa penyesalan,
aku syukuri hidup tanpa keraguan. Hanya sedikit pertanyaan dariku, Tuhan kapan nasibku
bisa berubah? Sedikit saja Tuhan!”