Web Hosting

Jumat, 15 Mei 2015

Percaya Padaku!

“Ham, bukannya aku tidak mendukung kamu tapi kamu tahu tidak ini sesuatu yang sangat-sangat tidak mungkin. Kamu coba buka mata lebar-lebar, lihat ke kaca. Ingat semua dosa-dosamu Ham! Jangan ngawur jadi orang, terima saja apa yang ada!”

“Tapi…” kataku lirih. Fandi sudah beranjak pergi. Seorang sahabat yang aku kira akan menjadi tumpuanku untuk bisa tegak berdiri kini sudah pergi. Aku seorang diri. Apa yang akan terjadi nanti kalau seperti ini.

Aku termenung meratapi nasibku sekarang. Semuanya bermula ketika aku mencalonkan diri sebagai ketua OSIS. Rasanya memang sulit, bahkan sangat sulit dengan  jejak hidup yang aku tinggalkan di belakangku. Dulu memang aku masih tak terkontrol dengan segala bentuk kenakalanku. Tetapi manusia pasti akan bisa berubah itu yang aku yakini.

Dan sialnya, semua orang ragu akan perubahanku. Bahkan temanku sendiri juga ragu jika aku sudah benar-benar berubah. Banyak yang tidak percaya seorang Ilham yang dulu menjadi preman sekolah sudah beralih peran menjadi anak pendiam di sekolah. Bahkan mereka lebih tidak percaya ketika tersiar rumor seorang Ilham mencalonkan diri sebagai ketua OSIS.

Tidak terjadi pro kontra yang ada semua kontra. Sedikit rasa penyesalan mulai muncul menyambangi hati ini. Memang benar kata Ilham, sepertinya memang tidak mungkin. Apa aku harus kalah berperang sejak awal? Bukan karakterku jika seperti itu, dan juga bukan karakterku jika perang tanpa senjata. Sekarang apa yang akan menjadi senjataku jika aku sendiri seperti ini. Aku berjalan pulang sambil menggaruk kepala yang tak gatal.

“Tolong! Tolong!” sayup-sayup terdengar suara dari kejauhan. Aku segera berlari mencari sumber suara tersebut. Hingga akhirnya aku menemukan drama saling menarik tas antara seorang wanita dan seorang preman.

“Hei!” gertakku sambil mengacungkan jari.

“Apa hah? Berani kamu?”

“Belum tahu siapa aku hah?”

“Peduli apa sampai aku harus tahu siapa kamu.”

Dia mulai berlari menyerangku meninggalkan wanita yang dipalaknya. Tak sampai 15 menit ia telah terkapar di depanku dengan memegangi bibirnya yang berdarah. “Anak baru kamu hah di sini?” gertakku.

“Iy, iya mas. Ampun mas, maaf.”

“Pantesan enggak kenal. Tanya anak-anak daerah sini siapa itu Ilham si Prof kamu akan tahu siapa orang yang di depan kamu ini. Sekali lagi aku lihat kamu di sini, jangan harap itu muka masih berbentuk muka. Pergi!”

Ia lari terbirit-birit meninggalkan aku yang tersenyum penuh kebanggaan. “Anak baru mau nantang senior,” batinku. Aku dekati wanita yang tadinya ia palak. Entah mengapa wanita itu bukannya terlihat senang atas pertolongan dariku malah wajahnya menunjukkan ekspresi ketakutan. Ia bahkan lari meninggalkanku tanpa mengucapkan terima kasih. Melihat itu semua aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Dasar sial aku hari ini.

***

Aku lihat langit yang biru, semilir angin yang menyejukkan. Burung masih senang bernyanyi tanpa peduli mereka didengar atau tidak. Hari ini tidak ada yang istimewa. Perjalananku menuju sekolah terasa biasa saja. Sendiri tanpa teman berbagi cerita.

Pelajaran berlangsung dengan cepat. Kehidupan sekolah yang wajar untuk aku yang saat ini. Istirahat pun sama, aku tetap sendiri dan sama, tidak ada yang istimewa. Waktuku istirahat biasanya cuma aku habiskan dengan bermain game di ponselku. Tidak ada yang peduli tentangku, ada atau tidaknya aku tidak membuat mereka merasa berbeda.

“Anu…”

Sebuah suara mengagetkanku yang tengah serius bermain game. Aku tengok samping kananku, seorang wanita tengah berdiri dengan senyum manisnya. Melihat wajahnya rasanya tidak asing, tapi siapa. Aku masih terlalu muda untuk pikun, tapi kali ini aku benar-benar telah lupa. “Siapa ya?” hanya itu yang bisa aku ucapkan daripada pertanyaanku yang tak kunjung terjawab.

“Aku Ika. Kamu lupa?”

“Ika? Ika siapa?”

“Itu yang kemarin kamu tolong.”

“Ah itu iya benar itu kamu. Pantesan rasanya aku pernah lihat tapi entah dimana aku lupa,” teriakku. Seisi kelas melihat kami berdua tapi begitu melihat sorot mataku mereka terdiam kembali. Mungkin tidak mau mencari masalah dengan preman yang sudah tobat ini.

“Maaf ya kemarin aku lari.”

“Oh, enggak apa-apa kok. Kamu murid sini juga ternyata?”

“Iya.”

“Kamu kok tahu kelas aku di sini?”

“Siapa di sekolah ini yang tidak tahu dengan gosip preman ingin menjadi ketua OSIS,” katanya sambil menahan tawanya.

“Alasan yang masuk akal.”

“Boleh aku duduk?”

“Ehm, sepertinya pak kepala sekolah tidak pernah membuat peraturan dilarang duduk untuk wanita.”

“Kamu enggak terlalu seram seperti yang digosipkan ternyata,” katanya sambil sedikit tertawa.

“Kan sudah tobat.”

Kami larut dalam perbincangan yang tak pernah terduga. Tentang masa laluku yang kelam, tentang gosip-gosip tentangku, tentang alasan di balik rencanaku menjadi ketua OSIS dan banyak lagi. Tak terasa bel masuk sudah berbunyi yang menandakan kami harus berpisah. “Aku akan jadi tim sukses kamu Ham, janji.” Itulah kata-kata terakhirnya sebelum pergi meninggalkan kelasku.

Aku tercengang mendengar penuturannya. Dan benar saja, sejak itu ia mulai dekat denganku. Mulai beredar gosip yang lebih parah dari sebelumnya. Tapi Ika terlihat begitu nyaman tanpa beban apapun jika sedang bicara padaku.

“Ham hari ini saatnya kamu orasi, berikan yang terbaik. Kamu sudah berusaha keras selama ini meyakinkan mereka bahwa Ilham yang sekarang adalah Ilham yang baru. Sekarang kamu harus memperkuat keyakinan mereka, semangat!”

Aku mengangguk mendengar kata-katanya. Masa-masa kampanye yang sulit sudah aku lewati, walau belum banyak yang menjadi pendukungku tapi aku yakin selama niatku baik maka balasan yang aku terima baik pula nantinya.

“Kepada Bapak kepala sekolah yang saya hormati, Bapak dan Ibu guru beserta staff yang saya banggakan serta teman-teman semuanya yang saya cintai. Di sini saya akan menyampaikan beberapa hal tentang pencalonan diri saya sebagai ketua OSIS.

Saya sendiri juga kaget bagaimana saya bisa memiliki pemikiran seperti ini, tapi ini semua saya lakukan sebagai perminta maafan saya terhadap kelakuan saya selama ini. Saya tahu dan saya tidak lupa seperti apa saya yang dulu, tapi saya yang sekarang, saya yang berdiri di hadapan kalian semua sudah berubah. Ilham yang sekarang ingin memajukan sekolah ini, dia ingin sekolah ini menjadi sekolah yang di favoritkan oleh masyarakat sekitar kita semua.

Saya minta maaf atas apapun yang menjadi dosa saya, dan sekarang ijinkan saya menjadi pelayan kalian semua sebagai ketua OSIS yang baru. Saya tahu pasti sulit membayangkan orang seperti saya memimpin kalian tapi tolonglah untuk percaya.

Mungkin cuma itu yang bisa saya sampaikan, terima kasih,” kataku mengakhiri orasiku dengan mengusap air mataku. Tepuk tangan yang tidak begitu meriah mengiringi kepergianku dari panggung.

***

Tibalah saatnya untuk pengumuman hasil pemilihan ketua OSIS. Aku hanya bisa pasrah. Selama ini aku sudah berusaha dengan keras meyakinkan mereka semua dan kini tinggal melihat hasilnya. Sukses atau tidaknya akan merubah hidupku.

“Dan yang terpilis sebagai ketua OSIS adalah Ilham Nur Rahman.”

Aku melongo mendengarnya. Aku tak pernah menyangka, bagaimana aku bisa terpilih? Aku kira selama ini aku tidak pernah diperhatikan tapi dari mana datangnya dukungan yang membuat aku terpilih.

“Ilham, kami semua percaya dengan kamu. Kami semua percaya kamu sudah berubah. Kami tahu kamu mampu untuk menjadi ketua OSIS. Dengan masa lalu kamu yang seperti itu kami tahu kamu akan lebih siap menghadapi masalah yang sama akarena kamu dulunya pernah terjebak dalam dunia tersebut. Selamat atas keberhasilan kamu meyakinkan kami semua dan sekarang tugas yang lebih berat akan menghadang kamu ke depannya nanti.”

Aku bersyujud syukur atas apa yang aku raih. Walau awalnya sulit bahkan keraguan merambati hatiku tapi kini aku melihat sorot mata yang dulu sini kini begitu ramah memandangku. Dengan senyuman yang mengembang mereka bertepuk tangan melihat aku melangkah maju ke hadapan mereka.

Hari ini aku merasa cerita hidupku yang baru benar-benar dimulai. Saat semua percaya padaku, saat semuanya melihatku dengan tatapan ramah. Aku telah berhasil membuat mereka yang melihatku dengan sebelah mata menjadi melihatku dengan sepasang mata mereka bahkan berpasang-pasang mata.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar