“Ham, bukannya aku tidak mendukung
kamu tapi kamu tahu tidak ini sesuatu yang sangat-sangat tidak mungkin. Kamu
coba buka mata lebar-lebar, lihat ke kaca. Ingat semua dosa-dosamu Ham! Jangan
ngawur jadi orang, terima saja apa yang ada!”
“Tapi…” kataku lirih. Fandi sudah
beranjak pergi. Seorang sahabat yang aku kira akan menjadi tumpuanku untuk bisa
tegak berdiri kini sudah pergi. Aku seorang diri. Apa yang akan terjadi nanti
kalau seperti ini.
Aku termenung meratapi nasibku
sekarang. Semuanya bermula ketika aku mencalonkan diri sebagai ketua OSIS.
Rasanya memang sulit, bahkan sangat sulit dengan jejak hidup yang aku tinggalkan di
belakangku. Dulu memang aku masih tak terkontrol dengan segala bentuk
kenakalanku. Tetapi manusia pasti akan bisa berubah itu yang aku yakini.
Dan sialnya, semua orang ragu akan
perubahanku. Bahkan temanku sendiri juga ragu jika aku sudah benar-benar
berubah. Banyak yang tidak percaya seorang Ilham yang dulu menjadi preman
sekolah sudah beralih peran menjadi anak pendiam di sekolah. Bahkan mereka
lebih tidak percaya ketika tersiar rumor seorang Ilham mencalonkan diri sebagai
ketua OSIS.
Tidak terjadi pro kontra yang ada
semua kontra. Sedikit rasa penyesalan mulai muncul menyambangi hati ini. Memang
benar kata Ilham, sepertinya memang tidak mungkin. Apa aku harus kalah
berperang sejak awal? Bukan karakterku jika seperti itu, dan juga bukan
karakterku jika perang tanpa senjata. Sekarang apa yang akan menjadi senjataku
jika aku sendiri seperti ini. Aku berjalan pulang sambil menggaruk kepala yang
tak gatal.
“Tolong! Tolong!” sayup-sayup
terdengar suara dari kejauhan. Aku segera berlari mencari sumber suara
tersebut. Hingga akhirnya aku menemukan drama saling menarik tas antara seorang
wanita dan seorang preman.
“Hei!” gertakku sambil mengacungkan
jari.
“Apa hah? Berani kamu?”
“Belum tahu siapa aku hah?”
“Peduli apa sampai aku harus tahu
siapa kamu.”
Dia mulai berlari menyerangku
meninggalkan wanita yang dipalaknya. Tak sampai 15 menit ia telah terkapar di
depanku dengan memegangi bibirnya yang berdarah. “Anak baru kamu hah di sini?”
gertakku.
“Iy, iya mas. Ampun mas, maaf.”
“Pantesan enggak kenal. Tanya
anak-anak daerah sini siapa itu Ilham si Prof kamu akan tahu siapa orang yang
di depan kamu ini. Sekali lagi aku lihat kamu di sini, jangan harap itu muka
masih berbentuk muka. Pergi!”
Ia lari terbirit-birit
meninggalkan aku yang tersenyum penuh kebanggaan. “Anak baru mau nantang
senior,” batinku. Aku dekati wanita yang tadinya ia palak. Entah mengapa wanita
itu bukannya terlihat senang atas pertolongan dariku malah wajahnya menunjukkan
ekspresi ketakutan. Ia bahkan lari meninggalkanku tanpa mengucapkan terima
kasih. Melihat itu semua aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Dasar sial aku
hari ini.
***
Aku lihat langit yang biru,
semilir angin yang menyejukkan. Burung masih senang bernyanyi tanpa peduli
mereka didengar atau tidak. Hari ini tidak ada yang istimewa. Perjalananku
menuju sekolah terasa biasa saja. Sendiri tanpa teman berbagi cerita.
Pelajaran berlangsung dengan
cepat. Kehidupan sekolah yang wajar untuk aku yang saat ini. Istirahat pun
sama, aku tetap sendiri dan sama, tidak ada yang istimewa. Waktuku istirahat
biasanya cuma aku habiskan dengan bermain game di ponselku. Tidak ada
yang peduli tentangku, ada atau tidaknya aku tidak membuat mereka merasa
berbeda.
“Anu…”
Sebuah suara mengagetkanku yang
tengah serius bermain game. Aku tengok samping kananku, seorang wanita
tengah berdiri dengan senyum manisnya. Melihat wajahnya rasanya tidak asing,
tapi siapa. Aku masih terlalu muda untuk pikun, tapi kali ini aku benar-benar
telah lupa. “Siapa ya?” hanya itu yang bisa aku ucapkan daripada pertanyaanku
yang tak kunjung terjawab.
“Aku Ika. Kamu lupa?”
“Ika? Ika siapa?”
“Itu yang kemarin kamu tolong.”
“Ah itu iya benar itu kamu.
Pantesan rasanya aku pernah lihat tapi entah dimana aku lupa,” teriakku. Seisi
kelas melihat kami berdua tapi begitu melihat sorot mataku mereka terdiam
kembali. Mungkin tidak mau mencari masalah dengan preman yang sudah tobat ini.
“Maaf ya kemarin aku lari.”
“Oh, enggak apa-apa kok. Kamu
murid sini juga ternyata?”
“Iya.”
“Kamu kok tahu kelas aku di sini?”
“Siapa di sekolah ini yang tidak
tahu dengan gosip preman ingin menjadi ketua OSIS,” katanya sambil menahan
tawanya.
“Alasan yang masuk akal.”
“Boleh aku duduk?”
“Ehm, sepertinya pak kepala
sekolah tidak pernah membuat peraturan dilarang duduk untuk wanita.”
“Kamu enggak terlalu seram seperti
yang digosipkan ternyata,” katanya sambil sedikit tertawa.
“Kan sudah tobat.”
Kami larut dalam perbincangan yang
tak pernah terduga. Tentang masa laluku yang kelam, tentang gosip-gosip
tentangku, tentang alasan di balik rencanaku menjadi ketua OSIS dan banyak
lagi. Tak terasa bel masuk sudah berbunyi yang menandakan kami harus berpisah.
“Aku akan jadi tim sukses kamu Ham, janji.” Itulah kata-kata terakhirnya
sebelum pergi meninggalkan kelasku.
Aku tercengang mendengar
penuturannya. Dan benar saja, sejak itu ia mulai dekat denganku. Mulai beredar
gosip yang lebih parah dari sebelumnya. Tapi Ika terlihat begitu nyaman tanpa
beban apapun jika sedang bicara padaku.
“Ham hari ini saatnya kamu orasi,
berikan yang terbaik. Kamu sudah berusaha keras selama ini meyakinkan mereka
bahwa Ilham yang sekarang adalah Ilham yang baru. Sekarang kamu harus
memperkuat keyakinan mereka, semangat!”
Aku mengangguk mendengar kata-katanya.
Masa-masa kampanye yang sulit sudah aku lewati, walau belum banyak yang menjadi
pendukungku tapi aku yakin selama niatku baik maka balasan yang aku terima baik
pula nantinya.
“Kepada Bapak kepala sekolah yang
saya hormati, Bapak dan Ibu guru beserta staff yang saya banggakan serta
teman-teman semuanya yang saya cintai. Di sini saya akan menyampaikan beberapa
hal tentang pencalonan diri saya sebagai ketua OSIS.
Saya sendiri juga kaget bagaimana
saya bisa memiliki pemikiran seperti ini, tapi ini semua saya lakukan sebagai
perminta maafan saya terhadap kelakuan saya selama ini. Saya tahu dan saya
tidak lupa seperti apa saya yang dulu, tapi saya yang sekarang, saya yang
berdiri di hadapan kalian semua sudah berubah. Ilham yang sekarang ingin
memajukan sekolah ini, dia ingin sekolah ini menjadi sekolah yang di favoritkan
oleh masyarakat sekitar kita semua.
Saya minta maaf atas apapun yang
menjadi dosa saya, dan sekarang ijinkan saya menjadi pelayan kalian semua
sebagai ketua OSIS yang baru. Saya tahu pasti sulit membayangkan orang seperti
saya memimpin kalian tapi tolonglah untuk percaya.
Mungkin cuma itu yang bisa saya
sampaikan, terima kasih,” kataku mengakhiri orasiku dengan mengusap air mataku.
Tepuk tangan yang tidak begitu meriah mengiringi kepergianku dari panggung.
***
Tibalah saatnya untuk pengumuman
hasil pemilihan ketua OSIS. Aku hanya bisa pasrah. Selama ini aku sudah
berusaha dengan keras meyakinkan mereka semua dan kini tinggal melihat
hasilnya. Sukses atau tidaknya akan merubah hidupku.
“Dan yang terpilis sebagai ketua
OSIS adalah Ilham Nur Rahman.”
Aku melongo mendengarnya. Aku tak
pernah menyangka, bagaimana aku bisa terpilih? Aku kira selama ini aku tidak
pernah diperhatikan tapi dari mana datangnya dukungan yang membuat aku
terpilih.
“Ilham, kami semua percaya dengan
kamu. Kami semua percaya kamu sudah berubah. Kami tahu kamu mampu untuk menjadi
ketua OSIS. Dengan masa lalu kamu yang seperti itu kami tahu kamu akan lebih
siap menghadapi masalah yang sama akarena kamu dulunya pernah terjebak dalam
dunia tersebut. Selamat atas keberhasilan kamu meyakinkan kami semua dan
sekarang tugas yang lebih berat akan menghadang kamu ke depannya nanti.”
Aku bersyujud syukur atas apa yang
aku raih. Walau awalnya sulit bahkan keraguan merambati hatiku tapi kini aku
melihat sorot mata yang dulu sini kini begitu ramah memandangku. Dengan
senyuman yang mengembang mereka bertepuk tangan melihat aku melangkah maju ke
hadapan mereka.
Hari ini aku merasa cerita hidupku
yang baru benar-benar dimulai. Saat semua percaya padaku, saat semuanya
melihatku dengan tatapan ramah. Aku telah berhasil membuat mereka yang
melihatku dengan sebelah mata menjadi melihatku dengan sepasang mata mereka
bahkan berpasang-pasang mata.