Al-Hasan
pernah mengiringi jenazah. Duduklah ia di pinggir kubur seraya berkata,
"Sesungguhnya suatu hal yang terbukti ini adalah ujungnya, maka selayaknya
tidak terlena di awalnya. Dan sesungguhnya suatu hal yang terbukti ini adalah
awalnya, maka selayaknya dikhawatirkan ujungnya."
Ya
Allah, berilah rahmat kepada kami, ketika kuburan kami telah lenyap dan nama
kami tidak pernah disebut lagi. Tak ada lagi yang mengenal kami, dan tak
seorangpun yang menyebut-nyebut kami. Bahkan, tak seorangpun yang menziarahi
kami lagi.
Ya
Allah, berikanlah rahmat kepada kami, kala keluarga kami memandikan tubuh kami.
Ya Allah, berikanlah rahmat kepada kami, kala mereka mengkafani tubuh kami. Ya
Allah, berikanlah rahmat kepada kami, kala mereka menggotong kami di atas
pundak mereka.
Kaset itu berputar cepat. Aku
mengikuti doa imam dengan penuh perhatian dan kecermatan. Aku mengulangi doa
itu untuk kesekian kalinya. Sekali lagi, dan sekali lagi. Setiap doa yang diucapkannya.
Segala yang diucapkan dan menjadi doanya adalah benar adanya. Hidup kita memang
akan berakhir.
Kita akan dimandikan, dikafani,
kemudian diletakkan di liang lahat, di dalam tanah. Nama kita akan segera
terlupakan.
Namun suara yang diiringi dengan
kekhusyukan itu membuatku terdiam sesaat. Aku memutar kembali kaset itu untuk
ketiga kalinya.
Saudariku adalah profil seorang
wanita da’i yang bersungguh-sungguh. Ia telah berusaha mengubah diriku menjadi
orang yang selalu memelihara shalat, untuk selalu berbuat taat. Ia berusaha
semaksimal mungkin, melalui kata-kata, melalui kaset dan melalui buku-buku.
Suatu hari, ketika dia sedang
mengendarai mobil bersamaku, kami terlibat pembicaraan. Ketika kami hendak
turun, saudariku itu meletakkan kaset ini ke dalam tape recorder.
Ke esokkan harinya, aku keluar rumah
dengan santai, tanpa perasaan apa-apa. Dengan sembarang aku menekan tombol
tape, tanpa ingat kaset apa yang terdapat di dalamnya. Seperti biasanya, aku
membayangkan suara lagu yang aku sukai. Akan tetapi sudah menjadi takdir Allah,
yang ada dalam tape ini ternyata adalah kaset tersebut.
Aku mendengarkannya pada pagi hari,
lalu ku ulangi lagi pada sore harinya, dan juga sesudah Isya’.
Aku bertanya, “Kaset apa yang engkau
letakkan di sini?” saudariku berbalik bertanya, “Apakah engkau tertarik?”
“Tentu saja,” jawabku. Tak seperti biasanya, ia menyambut ucapanku dengan suka
cita. Ia tampak begitu gembira. Di tangannya terdapat buku, lalu diletakkan di
sampingnya. Ia kembali mengulangi pertanyaannya, “Apakah engkau betul-betul
tertarik dengan suara dan bacaan imam itu?” “Sungguh, aku tertarik,” jawabku
lagi.
Jawabanku itu menjadi pembuka
percakapan kami yang panjang. Perbicangan semacam itu berulang beberapa kali.
Namun kali ini, sungguh jauh berbeda. Di akhir perbincangan, saudariku berkata,
“Saya akan bacakan kepadamu yang baru saja ku baca. Suatu hari, Hasan Al
Bashri lewat di hadapan seorang pemuda yang tenggelam dalam tawanya, ketika ia
duduk bersama teman-temannya. Hasan berkata kepadanya, “Wahai pemuda! Pernahkah
engkau melewati Ash Shiraat?” Sang pemuda menjawab, “Belum.” Beliau bertanya
lagi, “Apakah engkau tahu, sedang berjalan menuju surga atau neraka?” “Tidak,”
jawab pemuda itu lagi. “Lalu apa arti tawamu itu?” tanya beliau lagi.”
Sejenak aku terdiam. Kemudian saudariku itu menengok ke arahku, seraya berkata, “Sampai kapankah kelalaian ini akan terus berlangsung?”