Web Hosting

Minggu, 17 Mei 2015

Kelalaian

Al-Hasan pernah mengiringi jenazah. Duduklah ia di pinggir kubur seraya berkata, "Sesungguhnya suatu hal yang terbukti ini adalah ujungnya, maka selayaknya tidak terlena di awalnya. Dan sesungguhnya suatu hal yang terbukti ini adalah awalnya, maka selayaknya dikhawatirkan ujungnya."

Ya Allah, berilah rahmat kepada kami, ketika kuburan kami telah lenyap dan nama kami tidak pernah disebut lagi. Tak ada lagi yang mengenal kami, dan tak seorangpun yang menyebut-nyebut kami. Bahkan, tak seorangpun yang menziarahi kami lagi.

Ya Allah, berikanlah rahmat kepada kami, kala keluarga kami memandikan tubuh kami. Ya Allah, berikanlah rahmat kepada kami, kala mereka mengkafani tubuh kami. Ya Allah, berikanlah rahmat kepada kami, kala mereka menggotong kami di atas pundak mereka.

Kaset itu berputar cepat. Aku mengikuti doa imam dengan penuh perhatian dan kecermatan. Aku mengulangi doa itu untuk kesekian kalinya. Sekali lagi, dan sekali lagi. Setiap doa yang diucapkannya. Segala yang diucapkan dan menjadi doanya adalah benar adanya. Hidup kita memang akan berakhir.

Kita akan dimandikan, dikafani, kemudian diletakkan di liang lahat, di dalam tanah. Nama kita akan segera terlupakan.

Namun suara yang diiringi dengan kekhusyukan itu membuatku terdiam sesaat. Aku memutar kembali kaset itu untuk ketiga kalinya.

Saudariku adalah profil seorang wanita da’i yang bersungguh-sungguh. Ia telah berusaha mengubah diriku menjadi orang yang selalu memelihara shalat, untuk selalu berbuat taat. Ia berusaha semaksimal mungkin, melalui kata-kata, melalui kaset dan melalui buku-buku.

Suatu hari, ketika dia sedang mengendarai mobil bersamaku, kami terlibat pembicaraan. Ketika kami hendak turun, saudariku itu meletakkan kaset ini ke dalam tape recorder.

Ke esokkan harinya, aku keluar rumah dengan santai, tanpa perasaan apa-apa. Dengan sembarang aku menekan tombol tape, tanpa ingat kaset apa yang terdapat di dalamnya. Seperti biasanya, aku membayangkan suara lagu yang aku sukai. Akan tetapi sudah menjadi takdir Allah, yang ada dalam tape ini ternyata adalah kaset tersebut.

Aku mendengarkannya pada pagi hari, lalu ku ulangi lagi pada sore harinya, dan juga sesudah Isya’.

Aku bertanya, “Kaset apa yang engkau letakkan di sini?” saudariku berbalik bertanya, “Apakah engkau tertarik?” “Tentu saja,” jawabku. Tak seperti biasanya, ia menyambut ucapanku dengan suka cita. Ia tampak begitu gembira. Di tangannya terdapat buku, lalu diletakkan di sampingnya. Ia kembali mengulangi pertanyaannya, “Apakah engkau betul-betul tertarik dengan suara dan bacaan imam itu?” “Sungguh, aku tertarik,” jawabku lagi.

Jawabanku itu menjadi pembuka percakapan kami yang panjang. Perbicangan semacam itu berulang beberapa kali. Namun kali ini, sungguh jauh berbeda. Di akhir perbincangan, saudariku berkata, “Saya akan bacakan kepadamu yang baru saja ku baca. Suatu hari, Hasan Al Bashri lewat di hadapan seorang pemuda yang tenggelam dalam tawanya, ketika ia duduk bersama teman-temannya. Hasan berkata kepadanya, “Wahai pemuda! Pernahkah engkau melewati Ash Shiraat?” Sang pemuda menjawab, “Belum.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau tahu, sedang berjalan menuju surga atau neraka?” “Tidak,” jawab pemuda itu lagi. “Lalu apa arti tawamu itu?” tanya beliau lagi.”
 
Sejenak aku terdiam. Kemudian saudariku itu menengok ke arahku, seraya berkata, “Sampai kapankah kelalaian ini akan terus berlangsung?”

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar