Web Hosting

Kamis, 28 Mei 2015

Noordin Oh Nurrdin

Noordin Oh Nurrdin
“Wih pelihara jenggot. Wih celananya cingkrang. Ikut aliran mana Din?”


Aku mengernyitkan dahi. Tak paham aku akan pertanyaannya. Aku gagal paham dengannya hingga garuk-garuk kepala belaka yang jadi pelampiasan. Aku bisu dalam kebingungan. Belum habis rasa bingungku, ia telah menghujamkan kembali pertanyaan. “Jangan jadi teroris loh ya!”

Aku tersentak mendengarnya. Seakan tercerahkan aku paham arah perkataannya. “Kemarilah!” Ia duduk mendekat padaku. “Sekarang kamu jadi lebih mirip Noordin M Top daripada Nurrdin Afandi,” candanya.


Ku pandangi ia, seakan tak percaya apa yang ia telah ucapkan. Benarkah aku sedemikian itu? Benarkah aku telah berubah sejauh itu? Kalau perubahanku begitu dahsyatnya, seperti apakah aku di waktu lampau? Apakah aku benar-benar ‘preman’ dahulu kala?


Muncul lagi pertanyaan yang lain. Kok bisa ya, cuma gara-gara jenggot, plus celanaku yang kebetulan cingkrang aku dikatakan seperti itu. Aku ingat-ingat kembali, koleksi celana cingkrangku. Selama ini aku baru punya 2 celana cingkrang dan lainnya masih tetap sama, di bawah mata kaki. Aku ingat-ingat kembali, beberapa bulan yang lalu aku mencukur habis jenggotku ini dan memanjangkan kumisku.


Saat itu ia juga bertemu denganku dan tak memberikan komentar apa-apa tentang penampilanku. Ia malah mengajakku main ps seperti biasanya. Apa iya kumisku tidak ia lihat waktu itu? Dan sekarang begitu jenggot yang tumbuh ia begitu jelas melihatnya. Sejauh itukah efek yang ditimbulkan dari rambut-rambut halus di antara kedua bibir ini.


Saat aku potong keduanya pun, ia tak mengomentari. Sedikit pun tidak. Lebih muda atau lebih enak dilihat atau apalah itu tidak terucap dari mulutnya. Sedikit pun tidak. Aneh! Ini benar-benar aneh. Terlalu aneh rasanya untuk ia yang sama-sama muslim sepertiku. Apa ia belum belajar untuk hari ini? Apa ia belum membeli buku agama bulan ini? Apa ia belum datang ke pengajian minggu ini?


Lucu saja mendengarnya. Saat teroris begitu melekat pada Islam yang berjenggot dan bercelana cingkrang. Aku jadi tertarik dengan kata teroris. Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Itu yang aku dapatkan dari hasil browsing. Dimana letak Islamnya? Tapi mengapa teroris tidak bisa jauh dari Islam?


Aku tetap garuk-garuk kepala. Tak mengerti. Aku jadi teringat Kanjeng Nabi sendiri pernah berpesan “Sesungguhnya Islam dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka thuuba (beruntunglah) orang-orang yang asing”


Apa sekarang Islam sudah menjadi asing? Saat seseorang berusaha menjalankan sunnah dari junjungannya, justru terlihat aneh. Apakah kini jika seseorang berpegang teguh pada agamanya layaknya ia menggenggam bara api dimana ia akan terbakar saat ia genggam terus menerus dan jika di lepas, murka Tuhan yang akan ia temui kelak.


“Heh! Malah melamun. Apa istrimu nanti juga bercadar?”


Aku kembali tersenyum, “Menurutmu?”


“Aku doakan deh, semoga bercadar kalau gitu.”


“Aamiin.”


“Wah enggak bisa aku ajak main ps lagi nih. Pasti hobinya pengajian terus.”


“Ehm, enggak juga. Taruhan pun aku masih bisa. Kalau aku menang, kamu ikut aku pengajian ahad pagi. Kalau aku kalah tak traktir makan bakso di tempat biasa. Aturannya sederhana, aku pakai arema Malang kamu bebas pakai klub apapun.”


“Wih, boleh juga nih. Oke!”


Kami beranjak pergi. Sepanjang perjalanan aku terus saja teringat akan perkataannya beberapa menit yang lalu. “Jangan jadi teroris loh ya!” Kalau pun benar aku menjadi teroris, teroris macam apa aku ini. Pegang senjata, cuma sebatas pisau dapur. Merakit bom, pengalamanku cuma merakit petasan. Membunuh, aku lihat sapi disembelih waktu idul adha saja tidak bisa apalagi manusia yang disembelih.


Jihad, dengan alasan jihad mereka mengangkat senjata. Benarkah perbuatan itu? Jawabanku ya, itu benar! Tapi benar menurut mereka, benar menurut golongan mereka. Apakah kalian semua lupa akan hadits Nabi ini.


“Kalian menuju kepada tujuan yang terbaik. Kalian menuju dari dari jihad yang lebih kecil kepada jihad yang lebih besar.” Mereka bertanya: “Apa itu jihad yang lebih besar?” Nabi menjawab: “Perjuangan seorang hamba melawan hawa nafsunya.”


Dari beberapa sumber yang telah aku baca menyebutkan hadits ini lemah. Tak mengapa, anggaplah ini bukan hadits tapi kata-kata mutiara dari orang arab dahulu kala. Kita pikir secara logika, kalian lihat anak SMA yang tawuran, itu disebabkan hawa nafsu mereka yang menginginkan mereka diakui sebagai kelompok paling kuat atau malah mungkin ingin menampilakn Crows Zero versi Indonesia.


Jadi menurutku sebelum pedang kita angkat kita harus mampu mengendalikan hawa nafsu. Kalau tidak, jangankan pedang, pisau dapur pun sudah dapat digunakan untuk membunuh. Ingatlah jika Allah berfirman dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8.


Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar