Aku mengernyitkan dahi. Tak paham aku akan pertanyaannya.
Aku gagal paham dengannya hingga garuk-garuk kepala belaka yang jadi
pelampiasan. Aku bisu dalam kebingungan. Belum habis rasa bingungku, ia telah
menghujamkan kembali pertanyaan. “Jangan jadi teroris loh ya!”
Aku tersentak mendengarnya. Seakan tercerahkan aku paham
arah perkataannya. “Kemarilah!” Ia duduk mendekat padaku. “Sekarang kamu jadi
lebih mirip Noordin M Top daripada Nurrdin Afandi,” candanya.
Ku pandangi ia, seakan tak percaya apa yang ia telah
ucapkan. Benarkah aku sedemikian itu? Benarkah aku telah berubah sejauh itu?
Kalau perubahanku begitu dahsyatnya, seperti apakah aku di waktu lampau? Apakah
aku benar-benar ‘preman’ dahulu kala?
Muncul lagi pertanyaan yang lain. Kok bisa ya, cuma
gara-gara jenggot, plus celanaku yang kebetulan cingkrang aku dikatakan seperti
itu. Aku ingat-ingat kembali, koleksi celana cingkrangku. Selama ini aku baru
punya 2 celana cingkrang dan lainnya masih tetap sama, di bawah mata kaki. Aku
ingat-ingat kembali, beberapa bulan yang lalu aku mencukur habis jenggotku ini
dan memanjangkan kumisku.
Saat itu ia juga bertemu denganku dan tak memberikan
komentar apa-apa tentang penampilanku. Ia malah mengajakku main ps seperti
biasanya. Apa iya kumisku tidak ia lihat waktu itu? Dan sekarang begitu jenggot
yang tumbuh ia begitu jelas melihatnya. Sejauh itukah efek yang ditimbulkan
dari rambut-rambut halus di antara kedua bibir ini.
Saat aku potong keduanya pun, ia tak mengomentari. Sedikit
pun tidak. Lebih muda atau lebih enak dilihat atau apalah itu tidak terucap
dari mulutnya. Sedikit pun tidak. Aneh! Ini benar-benar aneh. Terlalu aneh
rasanya untuk ia yang sama-sama muslim sepertiku. Apa ia belum belajar untuk
hari ini? Apa ia belum membeli buku agama bulan ini? Apa ia belum datang ke
pengajian minggu ini?
Lucu saja mendengarnya. Saat teroris begitu melekat pada
Islam yang berjenggot dan bercelana cingkrang. Aku jadi tertarik dengan kata
teroris. Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Itu yang aku
dapatkan dari hasil browsing. Dimana letak Islamnya? Tapi mengapa teroris tidak
bisa jauh dari Islam?
Aku tetap garuk-garuk kepala. Tak mengerti. Aku jadi
teringat Kanjeng Nabi sendiri pernah berpesan “Sesungguhnya Islam dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali asing
sebagaimana awalnya, maka thuuba (beruntunglah) orang-orang yang asing”
Apa sekarang Islam sudah menjadi asing? Saat seseorang
berusaha menjalankan sunnah dari junjungannya, justru terlihat aneh. Apakah
kini jika seseorang berpegang teguh pada agamanya layaknya ia menggenggam bara
api dimana ia akan terbakar saat ia genggam terus menerus dan jika di lepas,
murka Tuhan yang akan ia temui kelak.
“Heh! Malah melamun. Apa istrimu nanti juga bercadar?”
Aku kembali tersenyum, “Menurutmu?”
“Aku doakan deh, semoga bercadar kalau gitu.”
“Aamiin.”
“Wah enggak bisa aku ajak main ps lagi nih. Pasti hobinya
pengajian terus.”
“Ehm, enggak juga. Taruhan pun aku masih bisa. Kalau aku
menang, kamu ikut aku pengajian ahad pagi. Kalau aku kalah tak traktir makan
bakso di tempat biasa. Aturannya sederhana, aku pakai arema Malang kamu bebas
pakai klub apapun.”
“Wih, boleh juga nih. Oke!”
Kami beranjak pergi. Sepanjang perjalanan aku terus saja
teringat akan perkataannya beberapa menit yang lalu. “Jangan jadi teroris loh ya!” Kalau pun benar aku menjadi teroris,
teroris macam apa aku ini. Pegang senjata, cuma sebatas pisau dapur. Merakit
bom, pengalamanku cuma merakit petasan. Membunuh, aku lihat sapi disembelih
waktu idul adha saja tidak bisa apalagi manusia yang disembelih.
Jihad, dengan alasan jihad mereka mengangkat senjata.
Benarkah perbuatan itu? Jawabanku ya, itu benar! Tapi benar menurut mereka,
benar menurut golongan mereka. Apakah kalian semua lupa akan hadits Nabi ini.
“Kalian menuju kepada
tujuan yang terbaik. Kalian menuju dari dari jihad yang lebih kecil kepada
jihad yang lebih besar.” Mereka bertanya: “Apa itu jihad yang lebih besar?”
Nabi menjawab: “Perjuangan seorang hamba melawan hawa nafsunya.”
Dari beberapa sumber yang telah aku baca menyebutkan hadits
ini lemah. Tak mengapa, anggaplah ini bukan hadits tapi kata-kata mutiara dari
orang arab dahulu kala. Kita pikir secara logika, kalian lihat anak SMA yang
tawuran, itu disebabkan hawa nafsu mereka yang menginginkan mereka diakui
sebagai kelompok paling kuat atau malah mungkin ingin menampilakn Crows Zero
versi Indonesia.
Jadi menurutku sebelum pedang kita angkat kita harus mampu
mengendalikan hawa nafsu. Kalau tidak, jangankan pedang, pisau dapur pun sudah
dapat digunakan untuk membunuh. Ingatlah jika Allah berfirman dalam surat
Al-Mumtahanah ayat 8.
Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.