Web Hosting

Senin, 04 Mei 2015

Awal Mula

Awal Mula

“Ilham. Kamu Ilham kan?”

“Iya. Em, kok tahu?”

“Siapa sih yang enggak kenal dengan kamu yang dijuluki si Profesor. Aku dari SMP yang sama dengan kamu, cuma kita beda kelas.”

“Masuk sini juga?”

“Iya dong! Eh, aku pergi dulu ya, bye.”

Aku tercengang melihat ia berlari pergi. Gadis yang penuh semangat, tanpa pernah mengenalkan namanya ia datang, bicara, tersenyum, dan melambaikan tangan. Hari pertamaku terasa begitu istimewa, tanpa alasan yang jelas hanya itu yang aku rasakan. SMA, entah apa yang menungguku di depan sana.

***

“Hai Ilham. Ketemu lagi, kelas kamu dimana?”

“Hai gadis kilat. Aku di kelas B, kamu?”

“Gadis kilat? Sejak kapan namaku berubah?” tanyanya dengan wajah terheran.

 “Sejak pertama kali kamu bicara padaku dan pergi begitu saja. Seperti kilat!”

“Oh, jadi begitu. Oke, tapi setidaknya pakai sel di kepalamu dengan lebih baik, tidak adakah yang lebih pantas dari gadis kilat?” katanya sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang.

“Ada beberapa opsi yang bisa kamu pilih. Gadis kilat, gadis cerewet, gadis asing, dan gadis entahlah apalagi.”

“Kenapa semuanya gadis? Memangnya kamu tahu aku masih gadis atau enggak?”

Dan untuk kedua kalinya aku tercengang dibuatnya.

***

“Pulang bareng yuk!”

“Maaf aku enggak melayani permintaan tanda tangan.”

“Hei hei hei! Apa-apaan itu?”

“Memangnya rumah kita searah?”

“Perasaanku mengatakan iya.”

“Bagaimana kalau perasaanku mengatakan tidak?”

“Berarti kamu harus menuruti permintaanku karena perasaan kamu salah. Kamu pulang ke arah utara, sama halnya denganku.”

“Sejak kapan ini menjadi ajang taruhan.”

“Sejak aku di anugerahi gelar gadis kilat oleh Si Profesor.”

“Lantas apa permintaanmu itu?”

“Kamu harus berangkat dan pulang bareng aku. Karena cuma kamu yang rumahnya searah denganku.”

“Darimana datangnya rasa percaya dirimu itu?”

“Kalau tidak mau, akan aku paksa.”

“Apakah bisa?”

“Tentu! Semudah membuatmu jatuh hati padaku” dengan tersenyum ia membuatnya seolah-olah itu benar-benar hal yang mudah untuk dilakukan.

Aku yang selalu menyendiri, bahkan aku merasa ada dinding di sekelilingku yang membuat orang lain tak pernah bisa mengenal siapa aku. Tapi melihat ia yang berdiri di depanku, dinding itu seolah memiliki pintu yang  membuatnya bisa memasukinya tanpa harus memanjatnya, tanpa harus menghancurkannya dan tetap membuatku merasakan diriku yang dahulu. Ia seolah menemukan diriku yang bersembunyi dalam. Perlahan ia menarik diriku keluar dari duniaku.

“Hari ini aku bahagia deh Ham!”

“Kenapa?”

“Aku jatuh cinta.”

“Selamat!”

“Cuma itu?”

“Tidak ada permintaan kedua kan?”

“Bagaiman cara kamu hidup selama ini?”

“Dengan bernafas melali dua lubang hidung.”

“Oke, tapi cinta tak akan menghampirimu sampai kapanpun!”

“Bagaimana kalau aku mengatakan kalau saat ini juga aku telah jatuh cinta?”

Ia mendekatiku. Ia menatapku dengan mata buatnya. “Ilham, jatuh cinta? Hahaha, siapa gadis yang sial itu.”

“Kamu,” kataku sambil menunjuk hidungnya.

“Aku? Sehebat itukah aku, hingga dalam hitungan menit sudah membuatmu jatuh hati?”

“Tanpa perlu bersusah payah sejak awal kamu memang sudah membuatku jatuh hati.”

“Rayuan yang bagus!”

“Sayangnya rayuan itu tak membuahkan hasil apa-apa!”

Ia tak menjawab, ia berbalik dan mempercepat langkah kakinya. Kami terdiam sepanjang perjalanan. Entah apa yang ia pikirkan. Kami hanyut dalam pikiran kami masing-masing.

“Ham?”

“Apa?”

“Hari ini aku jatuh cinta!”

“Kamu sudah mengatakannya.”

“Apa kamu tidak ingin tahu siapa?”

“Apa aku perlu tahu?”

“Harus, karena kamu jatuh hati padaku.”

“Rupanya kamu menganggap serius kata-kataku tadi.”

“Aku salah sudah jatuh hati sama kamu!”

“Apa aku memintamu untuk itu?”

Ia menangis, kemudian berlari meninggalkanku.

“Hai gadis kilat, tunggu aku!” teriakku. Tapi percuma, ia tetap berlari bahkan semakin kencang.

“Hai Ika!”

Ia berhenti dan menengok ke belakang melihatku yang berlari mendekatinya.

“Ika, Ika Rahmawati. Janjiku adalah menemanimu pulang, jadi biarkan aku menepati janji itu.”

“Namaku,” ucapnya di sela-sela tangisnya.

“Apakah ada yang sulit bagi seorang yang memiliki gelar Profesor. Dan apakah tidak lucu kalau kita tidak mengetahui nama orang yang telah membuat kita jatuh hati bahkan membuatmu ingin terus di sampingnya. Bagaimana kalau kita berteman?”

“Adakah tanda kutip di sana?”

“Aku rasa iya.”

“Baiklah teman!”

“Teman! Dan permintaan pertamaku sebagai teman, bisakah aku tidak melihat wajah jelekmu itu? Aku mohon dengan sangat.”

“Rasanya air mataku terbuang percuma kalau begini,” katanya tersenyum sembari mengusap air matanya. Kami saling tersenyum dan kembali berjalan beriringan.

Cinta, bagaimana ia membuat seseorang yang begitu pendiam menjadi seseorang yang bicara tentang dunia. Cinta, bagaimana ia membuat seseorang yang berjalan menunduk menjadi berlari dengan senyuman. Cinta, bagaimana ia membuat aku menjadi kita, dan cinta bagaimana awalnya aku mencintainya. Ia Ika, seseorang yang entah kapan dan bagaimana awal mula aku mencintainya. Ia Ika.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar