“Iya. Em, kok tahu?”
“Siapa sih yang enggak kenal
dengan kamu yang dijuluki si Profesor. Aku dari SMP yang sama dengan kamu, cuma
kita beda kelas.”
“Masuk sini juga?”
“Iya dong! Eh, aku pergi
dulu ya, bye.”
Aku tercengang melihat ia
berlari pergi. Gadis yang penuh semangat, tanpa pernah mengenalkan namanya ia
datang, bicara, tersenyum, dan melambaikan tangan. Hari pertamaku terasa begitu
istimewa, tanpa alasan yang jelas hanya itu yang aku rasakan. SMA, entah apa
yang menungguku di depan sana.
***
“Hai Ilham. Ketemu lagi,
kelas kamu dimana?”
“Hai gadis kilat. Aku di
kelas B, kamu?”
“Gadis kilat? Sejak kapan
namaku berubah?” tanyanya dengan wajah terheran.
“Sejak pertama kali kamu bicara padaku dan
pergi begitu saja. Seperti kilat!”
“Oh, jadi begitu. Oke, tapi
setidaknya pakai sel di kepalamu dengan lebih baik, tidak adakah yang lebih
pantas dari gadis kilat?” katanya sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang.
“Ada beberapa opsi yang bisa
kamu pilih. Gadis kilat, gadis cerewet, gadis asing, dan gadis entahlah apalagi.”
“Kenapa semuanya gadis?
Memangnya kamu tahu aku masih gadis atau enggak?”
Dan untuk kedua kalinya aku
tercengang dibuatnya.
***
“Pulang bareng yuk!”
“Maaf aku enggak melayani
permintaan tanda tangan.”
“Hei hei hei! Apa-apaan
itu?”
“Memangnya rumah kita
searah?”
“Perasaanku mengatakan iya.”
“Bagaimana kalau perasaanku
mengatakan tidak?”
“Berarti kamu harus menuruti
permintaanku karena perasaan kamu salah. Kamu pulang ke arah utara, sama halnya
denganku.”
“Sejak kapan ini menjadi
ajang taruhan.”
“Sejak aku di anugerahi
gelar gadis kilat oleh Si Profesor.”
“Lantas apa permintaanmu
itu?”
“Kamu harus berangkat dan
pulang bareng aku. Karena cuma kamu yang rumahnya searah denganku.”
“Darimana datangnya rasa
percaya dirimu itu?”
“Kalau tidak mau, akan aku
paksa.”
“Apakah bisa?”
“Tentu! Semudah membuatmu
jatuh hati padaku” dengan tersenyum ia membuatnya seolah-olah itu benar-benar
hal yang mudah untuk dilakukan.
Aku yang selalu menyendiri,
bahkan aku merasa ada dinding di sekelilingku yang membuat orang lain tak
pernah bisa mengenal siapa aku. Tapi melihat ia yang berdiri di depanku,
dinding itu seolah memiliki pintu yang
membuatnya bisa memasukinya tanpa harus memanjatnya, tanpa harus
menghancurkannya dan tetap membuatku merasakan diriku yang dahulu. Ia seolah
menemukan diriku yang bersembunyi dalam. Perlahan ia menarik diriku keluar dari
duniaku.
“Hari ini aku bahagia deh
Ham!”
“Kenapa?”
“Aku jatuh cinta.”
“Selamat!”
“Cuma itu?”
“Tidak ada permintaan kedua
kan?”
“Bagaiman cara kamu hidup
selama ini?”
“Dengan bernafas melali dua
lubang hidung.”
“Oke, tapi cinta tak akan
menghampirimu sampai kapanpun!”
“Bagaimana kalau aku
mengatakan kalau saat ini juga aku telah jatuh cinta?”
Ia mendekatiku. Ia menatapku
dengan mata buatnya. “Ilham, jatuh cinta? Hahaha, siapa gadis yang sial itu.”
“Kamu,” kataku sambil
menunjuk hidungnya.
“Aku? Sehebat itukah aku,
hingga dalam hitungan menit sudah membuatmu jatuh hati?”
“Tanpa perlu bersusah payah
sejak awal kamu memang sudah membuatku jatuh hati.”
“Rayuan yang bagus!”
“Sayangnya rayuan itu tak
membuahkan hasil apa-apa!”
Ia tak menjawab, ia berbalik
dan mempercepat langkah kakinya. Kami terdiam sepanjang perjalanan. Entah apa yang
ia pikirkan. Kami hanyut dalam pikiran kami masing-masing.
“Ham?”
“Apa?”
“Hari ini aku jatuh cinta!”
“Kamu sudah mengatakannya.”
“Apa kamu tidak ingin tahu
siapa?”
“Apa aku perlu tahu?”
“Harus, karena kamu jatuh
hati padaku.”
“Rupanya kamu menganggap
serius kata-kataku tadi.”
“Aku salah sudah jatuh hati
sama kamu!”
“Apa aku memintamu untuk itu?”
Ia menangis, kemudian berlari
meninggalkanku.
“Hai gadis kilat, tunggu
aku!” teriakku. Tapi percuma, ia tetap berlari bahkan semakin kencang.
“Hai Ika!”
Ia berhenti dan menengok ke
belakang melihatku yang berlari mendekatinya.
“Ika, Ika Rahmawati. Janjiku
adalah menemanimu pulang, jadi biarkan aku menepati janji itu.”
“Namaku,” ucapnya di
sela-sela tangisnya.
“Apakah ada yang sulit bagi seorang
yang memiliki gelar Profesor. Dan apakah tidak lucu kalau kita tidak mengetahui
nama orang yang telah membuat kita jatuh hati bahkan membuatmu ingin terus di
sampingnya. Bagaimana kalau kita berteman?”
“Adakah tanda kutip di
sana?”
“Aku rasa iya.”
“Baiklah teman!”
“Teman! Dan permintaan
pertamaku sebagai teman, bisakah aku tidak melihat wajah jelekmu itu? Aku mohon
dengan sangat.”
“Rasanya air mataku terbuang
percuma kalau begini,” katanya tersenyum sembari mengusap air matanya. Kami
saling tersenyum dan kembali berjalan beriringan.
Cinta, bagaimana ia membuat
seseorang yang begitu pendiam menjadi seseorang yang bicara tentang dunia.
Cinta, bagaimana ia membuat seseorang yang berjalan menunduk menjadi berlari dengan
senyuman. Cinta, bagaimana ia membuat aku menjadi kita, dan cinta bagaimana
awalnya aku mencintainya. Ia Ika, seseorang yang entah kapan dan bagaimana awal
mula aku mencintainya. Ia Ika.