Web Hosting

Sabtu, 09 Mei 2015

Biru

Aku menengadah menatap langit-langit kamarku. Mencoba mengambil sedikit nafas, pelan dan dalam. Biru, terpampang di depan mataku. Sengaja aku cat seperti, warna favoritku. Dinding, lantai, lemari, gorden, baju, laptop dan apa saja harus menjadi biru jika ingin mengambil bagian di kamarku.


Mengapa? Alasan yang bagaimana yang ingin kalian dengar? Karena alasan-alasan yang tak dapat diterima secara logika yang akan kalian dengar. Lebih memilih pertamax daripada premium karena warnanya yang biru. Lebih memilih universitas yang almamaternya berwarna biru. Dan banyak hal lagi yang tidak dapat kalian logika. Silakan tertawa, tapi jangan tanyakan lagi mengapa biru, jangan.


Aku menatap dalam-dalam sedalam dalamnya. Bahkan semakin dalam saja tatapanku. Hah, tak ku temukan yang ingin terpikir. Justru ku dapati rumah laba-laba yang semakin parah karena sudah seminggu tak pernah aku bersihkan. Terlihat menjijikan tetapi apa daya diriku ini, sibuk yang berlebihan membuat singgasana ini layaknya kandang kambing.


Sekali lagi aku mengambil nafas, nikmat. Bagaimana bisa yang begitu dekat dan sederhana terlupa pikirku. Alhamdulillah hanya bersanding dengan lembaran Soekarno dan Hatta. Sang Proklamator Indonesia yang tak mungkin tak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Dan lagi aku memilih I Gusti Ngurah Rai sebagai penghuni dompet warisan kakekku. Pejuang kelahiran Kabupaten Badung, 30 Januari 1917. Bersama pasukannya TOKRING alias KOTOK GARING melakukan pertempuran habis-habisan di Marga. Hingga akhirnya beliau wafat di usia 29 tahun, atau lebih tepatnya tanggal 20 November 1946. Kemudian pertempurannya kita kenal hingga kini sebagai Puputan Margarana.


Aku buang pandanganku ke sebelah kiri. Rak buku penuh dengan koleksi buku-buku bacaan. Aku penggila komik, tapi dulu. Sekarang pun bisa dibilang sama saja, hanya sudah mulai agak berkurang kegilaan itu. Entah faktor usia atau apa aku mulai tertarik dengan hal-hal yang berbau politik dan sekarang aku malah menjadi pencinta sejarah. Mata pelajaran yang aku hindari sewaktu SMA dan menjadi alasan utama bagiku untuk memilih jurusan IPA daripada IPS. Ya, menghindari sejarah. Aku jadi teringat ucapan Ali bin Abi Thalib, “Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari.” Itu semua benar-benar telah terjadi padaku kini.


Selain itu tak kalah banyak pula buku-buku tentang komputer, Karena aku mengambil komputer di kampusku. Bukan sebagai maling, tetapi tepatnya mengambil jurusan komputer, dengan bahasa yang lebh kerennya ialah  Sistem Informatika.


Aku berpikir, apakah ada petunjuk di sana? Sepertinya tidak ada. Masalah seperti yang ada di depanku ini tidak ada yang bisa memberikan teori bahkan solusi secara tertulis, hal yang percuma. Aku cek kembali sisa saldo di rekeningku. Berulang kali aku cek dan masih tak puas jua aku. Aku cek facebook. twitter, google plus, blog, wechat, line, whatsapp dan semua sosial media yang aku miliki. Diam, tak ada respon. Tak ada jawaban atas apa yang aku pertanyakan.


Mengapa bisa jadi begitu rumit, batinku. Bahkan menurutku wanita tak serumit ini. Kuncinya hanya kita mau mengalah karena kita laki-laki dan kita juga mau tegas karena kita laki-laki pula. Tapi mengapa banyak yang beranggapan itu hal yang begitu sulit?


Saat yang lain menatap masa depan dengan mata yang sipit bahkan hanya bisa memandang dengan satu mata, aku justru dengan sangat jelas melihat masa depanku dengan kedua mataku. Ada tiga jalan yang terbentang di depanku kini. Apakah aku akan menjadi seorang karyawan? Apakah aku akan menjadi seorang penulis? Apakah aku akan mejadi seorang programmer?


Aku berusaha sebaik-baiknya dalam tiga hal ini. Aku kuliah sembari berkeja, jabatanku sebagai kepala gudang tidak bisa dianggap remeh. Satu jalan yang sangat terang telah menanti di ujungnya. Prestasiku di kampus pun bisa dibilang di atas rata-raa, katakanlah aku masuk sebagai mahasiswa dengan nilai kelas atas. Husuf A sudah menjadi langganan hasil ujianku. Menjadi programmer bisa saja terjadi dengan sangat mudah jika aku mau.


Selebihnya karena hobiku membaca, menulis jadi sesuatu yang tak asing lagi. Walau hanya sekedar cerpen tapi setumpuk sertifikat penghargaan dari lomba yang aku ikuti sudah cukup menjadi saksi jika keahlianku dalam menulis bisa dipertanggung jawabkan. Sekarang tinggal bagaimana aku menghadapi takdirku.


Selesai dengan berbagai lamunanku yang tak jelas arahnya, aku terpaku lagi dengan bingkisan pos di depanku. Aku bolak balik berharap keajaiban. Percuma. Aku Cuma garuk-garuk kepala tak mengerti, bagaimana ini semua bisa terjadi. Aku rasa aku sudah memberikan catatan bahwa warna biru yang aku pesan.


“Ham.”


“Ya Bu.”


“Sini Nak bantu Ibu sebentar.”


“Ya bu.”


Aku kembali membungkus handphone baruku yang berwarna merah. Hasil dari pembelian online minggu lalu. Warna yang paling aku benci. Aku coba cek ke penjualnya ternyata stok warna biru sudah habis. Aku coba tukar tambah di sosial media tetapi tak ada yang merespon. Sial, sungguh sial. Aku segera menghampiri ibuku sambil terus berpikir, apakah aku harus berhenti menjadi manusia biru?

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar