Aku menengadah menatap langit-langit kamarku. Mencoba
mengambil sedikit nafas, pelan dan dalam. Biru, terpampang di depan mataku. Sengaja
aku cat seperti, warna favoritku. Dinding, lantai, lemari, gorden, baju, laptop
dan apa saja harus menjadi biru jika ingin mengambil bagian di kamarku.
Mengapa? Alasan yang bagaimana yang ingin kalian dengar?
Karena alasan-alasan yang tak dapat diterima secara logika yang akan kalian
dengar. Lebih memilih pertamax daripada premium karena warnanya yang biru. Lebih
memilih universitas yang almamaternya berwarna biru. Dan banyak hal lagi yang
tidak dapat kalian logika. Silakan tertawa, tapi jangan tanyakan lagi mengapa
biru, jangan.
Aku menatap dalam-dalam sedalam dalamnya. Bahkan semakin
dalam saja tatapanku. Hah, tak ku temukan yang ingin terpikir. Justru ku dapati
rumah laba-laba yang semakin parah karena sudah seminggu tak pernah aku
bersihkan. Terlihat menjijikan tetapi apa daya diriku ini, sibuk yang
berlebihan membuat singgasana ini layaknya kandang kambing.
Sekali lagi aku mengambil nafas, nikmat. Bagaimana bisa yang
begitu dekat dan sederhana terlupa pikirku. Alhamdulillah hanya bersanding
dengan lembaran Soekarno dan Hatta. Sang Proklamator Indonesia yang tak mungkin
tak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Dan lagi aku memilih I Gusti Ngurah Rai
sebagai penghuni dompet warisan kakekku. Pejuang kelahiran Kabupaten
Badung, 30 Januari 1917. Bersama pasukannya TOKRING
alias KOTOK GARING melakukan pertempuran habis-habisan di Marga. Hingga
akhirnya beliau wafat di usia 29 tahun, atau lebih tepatnya tanggal 20 November
1946. Kemudian pertempurannya kita kenal hingga kini sebagai Puputan Margarana.
Aku buang pandanganku ke sebelah kiri. Rak buku penuh dengan
koleksi buku-buku bacaan. Aku penggila komik, tapi dulu. Sekarang pun bisa dibilang
sama saja, hanya sudah mulai agak berkurang kegilaan itu. Entah faktor usia atau
apa aku mulai tertarik dengan hal-hal yang berbau politik dan sekarang aku
malah menjadi pencinta sejarah. Mata pelajaran yang aku hindari sewaktu SMA dan
menjadi alasan utama bagiku untuk memilih jurusan IPA daripada IPS. Ya, menghindari
sejarah. Aku jadi teringat ucapan Ali bin Abi Thalib, “Cintailah sahabatmu
biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan
bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada
suatu hari.” Itu semua benar-benar telah terjadi padaku kini.
Selain itu tak kalah banyak pula buku-buku tentang komputer,
Karena aku mengambil komputer di kampusku. Bukan sebagai maling, tetapi tepatnya
mengambil jurusan komputer, dengan bahasa yang lebh kerennya ialah Sistem Informatika.
Aku berpikir, apakah ada petunjuk di sana? Sepertinya tidak
ada. Masalah seperti yang ada di depanku ini tidak ada yang bisa memberikan
teori bahkan solusi secara tertulis, hal yang percuma. Aku cek kembali sisa
saldo di rekeningku. Berulang kali aku cek dan masih tak puas jua aku. Aku cek
facebook. twitter, google plus, blog, wechat, line, whatsapp dan semua sosial
media yang aku miliki. Diam, tak ada respon. Tak ada jawaban atas apa yang aku
pertanyakan.
Mengapa bisa jadi begitu rumit, batinku. Bahkan menurutku
wanita tak serumit ini. Kuncinya hanya kita mau mengalah karena kita laki-laki
dan kita juga mau tegas karena kita laki-laki pula. Tapi mengapa banyak yang beranggapan
itu hal yang begitu sulit?
Saat yang lain menatap masa depan dengan mata yang sipit
bahkan hanya bisa memandang dengan satu mata, aku justru dengan sangat jelas
melihat masa depanku dengan kedua mataku. Ada tiga jalan yang terbentang di
depanku kini. Apakah aku akan menjadi seorang karyawan? Apakah aku akan menjadi
seorang penulis? Apakah aku akan mejadi seorang programmer?
Aku berusaha sebaik-baiknya dalam tiga hal ini. Aku kuliah
sembari berkeja, jabatanku sebagai kepala gudang tidak bisa dianggap remeh.
Satu jalan yang sangat terang telah menanti di ujungnya. Prestasiku di kampus
pun bisa dibilang di atas rata-raa, katakanlah aku masuk sebagai mahasiswa
dengan nilai kelas atas. Husuf A sudah menjadi langganan hasil ujianku. Menjadi
programmer bisa saja terjadi dengan sangat mudah jika aku mau.
Selebihnya karena hobiku membaca, menulis jadi sesuatu yang
tak asing lagi. Walau hanya sekedar cerpen tapi setumpuk sertifikat penghargaan
dari lomba yang aku ikuti sudah cukup menjadi saksi jika keahlianku dalam
menulis bisa dipertanggung jawabkan. Sekarang tinggal bagaimana aku menghadapi
takdirku.
Selesai dengan berbagai lamunanku yang tak jelas arahnya,
aku terpaku lagi dengan bingkisan pos di depanku. Aku bolak balik berharap
keajaiban. Percuma. Aku Cuma garuk-garuk kepala tak mengerti, bagaimana ini
semua bisa terjadi. Aku rasa aku sudah memberikan catatan bahwa warna biru yang
aku pesan.
“Ham.”
“Ya Bu.”
“Sini Nak bantu Ibu sebentar.”
“Ya bu.”
Aku kembali membungkus handphone baruku yang berwarna merah.
Hasil dari pembelian online minggu lalu. Warna yang paling aku benci. Aku coba
cek ke penjualnya ternyata stok warna biru sudah habis. Aku coba tukar tambah
di sosial media tetapi tak ada yang merespon. Sial, sungguh sial. Aku segera
menghampiri ibuku sambil terus berpikir, apakah aku harus berhenti menjadi
manusia biru?