Web Hosting

Senin, 18 Mei 2015

Prolog

“Saya nikahkan engkau, Bilal bin Darmawan dengan putri saya, Rahma binti Bambang dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”

“Saya terima nikahnya Rahma binti Bambang dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

“Bagaimana saksi, sah?”

“Sah!”

“Alhamdulillah.”

Perkenalkan, namaku Bilal. Aku orang yang penuh dengan kegelapan, kemurungan, kemisteriusan, dan entah apalagi aku tak mengingatnya. Semua telah aku tinggalkan dibelakang, kini aku melangkah dengan tersenyum bersama seseorang yang telah mengubahku, mengubah duniaku. Ia datang bukan karena keinginanku, tapi ia datang untuk membawa pesan dari Tuhan bahwa aku adalah hamba-Nya yang tak pernah Dia lupakan. Aku adalah hamba-Nya yang mungkin kerap membuat-Nya jengkel.

Mulai kini kisah cintaku telah dimulai, sebuah kisah cinta dengan naungan rahmat-Nya. Alhadulillah. Ups, sepertinya aku terlalu cepat bercerita. Kita mundur sejenak, mengisahkan apa yang telah kami berdua lalui hingga kini. Dan inilah prolog kisahku, prolog kisah cintaku!

***

“Lal, bisa ajarin aku rumus yang tadi tidak?”

“Enggak mau!”

“Kenapa?”

“Percuma.”

“Kok bisa?”

“Buang-buang waktu. Toh kamu juga enggak akan ngerti,” aku bergegas menuju kantin meninggalkannya.

Semenjak aku ditunjuk sebagai perwakilan murid saat upacara penerimaan murid baru, banyak orang yang mulai mendekatiku dan berusaha mengenalku lebih jauh. Mereka hanya berusaha mencari sesuatu yang bisa mereka manfaatkan dariku. Apalagi jika bukan karena nilai ujian masukku yang tertinggi sehingga mereka begitu bernafsu dan sok akrab denganku.

Bagiku, tidak ada yang namanya ketulusan di dunia ini. Manusia selalu mengenakan topeng dengan wajah yang hangat sehingga tersembunyi wajah mereka yang sebenarnya. Wajah manusia yang biadab dan serakah. Mereka semua sama saja, mereka hanya mencari kesenangan hati mereka saja. Tanpa pernah peduli perasaan orang lain mereka terus memburu kepuasan dalam diri mereka. Mereka tak jauh beda dengan dia.

Namanya Rahma, itu yang aku tahu. Perempuan yang mendapat peringkat kedua saat ujian masuk. Entah ada yang salah dengan isi kepalanya atau apa tapi ia terus saja menempel dan memintaku mengajari ini itu. Menyebalkan, perempuan itu bagaikan monster yang tak pernah mengenal kata lelah, benar-benar membuatku muak. Bukankah ia anak orang kaya, mengapa tak meminta guru les privat saja, batinku.

“Bil!”

“Hah, apalagi?”

“Enggak kok, slow down bro. entar gantengnya hilang loh.”

Aku memalingkan wajahku, sialan. “Kamu pulang kerja jam berapa nanti?”

“Hah?”

“Kamu nanti pulang kerja jam berapa? Ganteng-ganteng kok tuli!”

“Siapa yang kerja?”

“Udah deh. Aku tahu kok kalau kamu kerja di restoran samping kantor pos, iya kan? Tenang aja, aku bisa jaga rahasia,” katanya dengan tersenyum tanpa salah.

“Kamu mata-matain aku?”

“Bisa dibilang begitu. Enggak sih, sebenarnya aku enggak sengaja lihat kamu lagi kerja di sana. Itu aja,” jawabnya santai.

“Alasan basi!”

“Ye enggak percaya lagi. Kamu kenapa sih Bil, jadi orang kok cuek banget. Padahal kan kamu itu pinter, ganteng, terus abis itu mandiri. Coba deh senyum dikit aja, pasti banyak cewek yang kesengsem sama kamu, kalau kamu nekuk wajah kamu kek gitu terus yang ada cewek-cewek pada takut tuh sama kamu. Enggak takut jadi jomblo? SMA kan masa-masa indahnya remaja Bil. Ayo dong Bil lebih friendly gitu kek, coba deh itung, selama ini kamu udah punya temen berapa?”

“Udah ceramahnya? Kamu itu siapa, urus saja urusanmu sendiri.”

“Bil, aku suka sama kamu.”

“Rahma, aku benci sama kamu.”

“Oke, kita taruhan. Kalau nanti nilai semester aku lebih tinggi dari kamu, kamu harus jadi pacar aku selama kita masih sekolah di sini. Enggak pedui kamu cinta atau tidak, bagaimana?”

“Rahma, ini bukan drama Korea. Jadi jangan mimpi, oke?”

“Bilal sayang, aku tidak suka drama Korea, aku sukanya drama Jepang, oke?”

Aku bergegas pergi. Otakku semakin parah jika terus-terusan bersama dengannya. Suasana sekolahan yang sama seperti biasanya terasa begitu membosankan, apalagi ditambah dengan kehadiran makhluk yang satu itu, bagai neraka. Mengapa Tuhan menciptakan makhluk seperti dia, wanita itu indah? Mungkin si pembuat ungkapan itu belum bertemu dengan si wanita yang satu itu.

“Hai Bil!”

“Maaf  tidak melayani permintaan tanda tangan!” aku berlalu begitu saja dari hadapannya.

“Memang bukan itu yang aku mau Bil, tapi terima tantanganku. Oke?”

“Beri alasan mengapa aku harus menerimanya?” kataku sambil berbalik menengoknya.

“Karena aku menyukaimu!”

“Dan aku tidak menyukaimu. Tidak ada yang perlu dibahas lagi, jadi cukup! Pergi jauh-jauh dari aku!”

“Bil apakah kamu manusia yang selamanya tidak akan jatuh cinta?”

“Aku akan jatuh cinta suatu saat nanti. Tapi bukan dengan kamu!”

“Aku akan pergi kalau begitu. Itu kan yang ingin kamu dengar dari aku, tidak akan Bil. Aku tidak akan lupa bagaimana perasaanku sama kamu, aku tidak akan lupa kepada seorang laki-laki yang menyebutku sebagai seorang wanita. Dan aku akan jatuh cinta pada laki-laki itu, tidak peduli ia cinta atau tidak. Bil, terserah kamu mau menerima tantanganku atau tidak, yang pasti akan aku buktikan aku bisa mengalahkanmu di ujian semester nanti. Dan kamu akan merasakan cinta pada wanita ini.” Ia berbalik pergi meninggalkanku, ia menangis.

Aku tahu ia menangis, dan sudah pasti ia menangis. Ia wanita, yang memiliki samudra di kelopak matanya, apa yang menjadi alasan untukku mengejarnya? Itu hal yang wajar, wanita menangis adalah hal biasa. Itu memanglah rancangan Tuhan, jadi mengapa aku harus mengejarnya? Ini kisah nyata, bukan kisah-kisah percintaan romantis khayalan para pemimpi yang lupa untuk membuka mata dan melihat betapa nyatanya dunia ini dan betapa rapuhnya khayalan yang ia bayangkan yang tak bertahan lama hingga ia akan pudar oleh ingatan.

Hari mulai berganti minggu dan ia mulai berubah menjadi bulan. Kehidupan sekolahku yang biasa-biasa saja, aku lewati tanpa meninggalkan kesan yang mendalam. Rahma mulai menjauhiku sejak kejadian waktu itu. Entah ia benar-benar berhenti dan sadar akan apa yang ia impikan atau hanya fokus untuk belajar dan masih berambisi mengalahkanku. Bukannya bahagia, aku justru merasakan ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang sering menggangguku dengan suara bisingnya saat istirahat, saat kami berjumpa, saat aku pulang kerja, dan saat-saat ia menatapku dengan tatapan penuh kepercayaan diri.

Bukan cinta yang tumbuh, aku sadar betul akan perasaanku. Aku merasa kehilangan sosok yang aku rasa menjadi rivalku. Walaupun aku tidak melakukan perubahan pada aktifitasku karena terusik oleh tantangannya, tapi aku merasakan ia mengakui kehebatanku sehingga ia mati-matian mengalahkanku, itu yang terpikir. Biarlah, ia berbuat sesuka hatinya. Karena bagaimanapun juga, tidak ada yang akan bisa mengalahkanku. Tingkatnya jauh di bawahku, bukan hal yang perlu aku risaukan.

Tibalah saat pengumuman hasil ujian semester pertama. Aku benar-benar tidak peduli dengan tantangannya tapi tetap saja aku penasaran, apakah ia berhasil mengalahkanku? Dan hasilnya tidak. Ia tetap berada di bawahku, dan aku tetaplah sang juara tanpa pernah dapat disentuh siapapun. Aku pikir aku akan mencarinya dan memintanya berhenti melakukan hal yang mustahil ia lakukan.

“Hai.”

“Stop! Aku sudah tahu. Aku kalah dari kamu, aku akui itu.”

“Baguslah, aku pergi!” aku segera berbalik menninggalkannya.

“Tapi sepertinya aku memenangkan hatimu deh Bil?”

“Hah?” tanyaku menengok ke belakang kembali.

“Bilal, manusia tercuek di sekolah ini. Ia datang ke sini untuk mendapat pengakuan kemenangan dari tantangan yang tak ia terima. Apa karena Bilal mulai jatuh cinta pada Rahma? Apa kerena Bilal mulai merindukan kehadiran Rahma? Apa Bilal ingin memastikan Rahma tidak menangis karena ia kalah taruhan? Entahlah! Siapa juga yang tahu isi hati seseorang, iya kan Bil?”

“Jangan besar kepala kamu!”

“Aku tidak besar kepala. Tapi kedatanganmu ke sini, ke hadapanku adalah bukti kamu merindukan aku. Kamu merindukan wanita yang dulu terobsesi mengejarmu, wanita yang dulu selalu berisik di sampingmu, wanita yang dulu menangis di depanmu, wanita yang dulu mencintaimu! Iya kan Bil? Tapi kini semua terlambat Bil, aku sudah tak menginginkan menjadi pacarmu. Terserah kamu bebas untuk melakukan apapun, karena aku sudah tak ingin jadi pacar manusia macam kamu, paham?”

Ia menangis lagi, kini ia lebih berani dari sebelumnya. Ia memandang mataku dengan matanya yang berkaca-kaca penuh linangan air mata. Ia tak memalingkan wajahnya yang tengah menangis dengan mata yang sembab ia menatapku penuh keyakinan di matanya. Mata yang benar-benar membuatku iri, mata yang mampu melihat tegak lurus tanpa pernah bisa tertunduk karena suatu kekalahan.

“Bil, kamu tahu yang aku rasakan sekarang? Aku sudah melepaskan harapanku untuk menjadi pacarmu, tapi aku merasa aku lebih pantas untuk menjadi istri kamu. Bagaimana? Mau enggak memiliki istri seperti aku?”

Aku terperangah melihat perubahannya yang begitu menakjubkan. Ia belajar akting sejak kapan, sesaat yang lalu ia menangis dengan begitu meyakinkan dan kini ia tersenyum dengan sangat manis di depanku. Aku tertawa melihat semuanya, aku tak dapat menahan tawaku ini. Ia sangat-sangat konyol dan jauh dari apa yang terlintas di pikiranku.

“Ini Bilal yang aku cari. Bilal yang aku cintai, rasanya tidak percuma air mataku jatuh menetes.”

“Itu ingusmu,” kataku menunjuk hidungnya sambil terus tertawa terpingkal-pingkal.

“Ups iya. Wajahku jadi terlihat jelek kalau begini,” ujarnya seraya menyeka air matanya.

“Tidak, kamu cantik. Kamu cantik terlebih saat kamu bisa diam dan mengijinkanku mengusap air matamu itu. Karena kamu begitu bodoh hingga mengusap air mata saja tidak bisa.”

“Oke, tolong yah,” dengan tersenyum ia mendekatkan wajahnya. Aku usap air matanya, matanya menjadi bengkak dan menggemaskan. Jika dilihat dari dekat ia tak hanya cantik bahkan ia begitu menyenangkan untuk dipandang. “Bil, aku cantik yah? Kok senyum-senyum gitu?” Aku tepuk jidatnya,”Pede banget sih!”

“Gimana Bil, pacar?”

Aku menggelengkan kepala, “Tidak! Teman saja yah?”

“Oke, selama itu bisa membuka hatimu itu, dan menarik tiap sudut bibirmu hingga kamu bisa tersenyum enggak masalah. Lagipula status pacar juga tidak diakui oleh Negara ini.”

Itulah awal kisah persabahatanku yang hingga sekarang ia tetaplah menjadi sahabat terbaik. Sahabat yang tak akan pernah pergi dari sampingku, bahkan selalu membuatku terpingkal-pingkal dengan sikap konyol dan kekanak-kanakannya. Yah, ini buka kisah cinta Cinderella ataupun putri tidur yang mengharu biru. Ini hanya sepenggal kisah cinta ciptaan Tuhan, kisah cinta biasa saja. Tapi bagi kami, ini adalah kisah cinta yang luar biasa.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar