“Saya nikahkan engkau, Bilal bin Darmawan dengan putri saya, Rahma binti Bambang dengan mas kawin
seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
“Saya
terima nikahnya Rahma binti Bambang dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
“Bagaimana
saksi, sah?”
“Sah!”
Perkenalkan,
namaku Bilal. Aku orang yang penuh dengan kegelapan, kemurungan, kemisteriusan,
dan entah apalagi aku tak mengingatnya. Semua telah aku tinggalkan dibelakang,
kini aku melangkah dengan tersenyum bersama seseorang yang telah mengubahku,
mengubah duniaku. Ia datang bukan karena keinginanku, tapi ia datang untuk
membawa pesan dari Tuhan bahwa aku adalah hamba-Nya yang tak pernah Dia
lupakan. Aku adalah hamba-Nya yang mungkin kerap membuat-Nya jengkel.
Mulai
kini kisah cintaku telah dimulai, sebuah kisah cinta dengan naungan rahmat-Nya.
Alhadulillah. Ups, sepertinya aku terlalu cepat bercerita. Kita mundur sejenak,
mengisahkan apa yang telah kami berdua lalui hingga kini. Dan inilah prolog
kisahku, prolog kisah cintaku!
***
“Lal,
bisa ajarin aku rumus yang tadi tidak?”
“Enggak
mau!”
“Kenapa?”
“Percuma.”
“Kok
bisa?”
“Buang-buang
waktu. Toh kamu juga enggak akan ngerti,” aku bergegas menuju kantin
meninggalkannya.
Semenjak
aku ditunjuk sebagai perwakilan murid saat upacara penerimaan murid baru,
banyak orang yang mulai mendekatiku dan berusaha mengenalku lebih jauh. Mereka
hanya berusaha mencari sesuatu yang bisa mereka manfaatkan dariku. Apalagi jika
bukan karena nilai ujian masukku yang tertinggi sehingga mereka begitu bernafsu
dan sok akrab denganku.
Bagiku,
tidak ada yang namanya ketulusan di dunia ini. Manusia selalu mengenakan topeng
dengan wajah yang hangat sehingga tersembunyi wajah mereka yang sebenarnya.
Wajah manusia yang biadab dan serakah. Mereka semua sama saja, mereka hanya
mencari kesenangan hati mereka saja. Tanpa pernah peduli perasaan orang lain
mereka terus memburu kepuasan dalam diri mereka. Mereka tak jauh beda dengan
dia.
Namanya
Rahma, itu yang aku tahu. Perempuan yang mendapat peringkat kedua saat ujian
masuk. Entah ada yang salah dengan isi kepalanya atau apa tapi ia terus saja
menempel dan memintaku mengajari ini itu. Menyebalkan, perempuan itu bagaikan
monster yang tak pernah mengenal kata lelah, benar-benar membuatku muak.
Bukankah ia anak orang kaya, mengapa tak meminta guru les privat saja, batinku.
“Bil!”
“Hah,
apalagi?”
“Enggak
kok, slow down bro. entar gantengnya hilang loh.”
Aku
memalingkan wajahku, sialan. “Kamu pulang kerja jam berapa nanti?”
“Hah?”
“Kamu
nanti pulang kerja jam berapa? Ganteng-ganteng kok tuli!”
“Siapa
yang kerja?”
“Udah
deh. Aku tahu kok kalau kamu kerja di restoran samping kantor pos, iya kan? Tenang
aja, aku bisa jaga rahasia,” katanya dengan tersenyum tanpa salah.
“Kamu
mata-matain aku?”
“Bisa
dibilang begitu. Enggak sih, sebenarnya aku enggak sengaja lihat kamu lagi
kerja di sana. Itu aja,” jawabnya santai.
“Alasan
basi!”
“Ye
enggak percaya lagi. Kamu kenapa sih Bil, jadi orang kok cuek banget. Padahal
kan kamu itu pinter, ganteng, terus abis itu mandiri. Coba deh senyum dikit
aja, pasti banyak cewek yang kesengsem sama kamu, kalau kamu nekuk wajah kamu
kek gitu terus yang ada cewek-cewek pada takut tuh sama kamu. Enggak takut jadi
jomblo? SMA kan masa-masa indahnya remaja Bil. Ayo dong Bil lebih friendly gitu
kek, coba deh itung, selama ini kamu udah punya temen berapa?”
“Udah
ceramahnya? Kamu itu siapa, urus saja urusanmu sendiri.”
“Bil,
aku suka sama kamu.”
“Rahma,
aku benci sama kamu.”
“Oke,
kita taruhan. Kalau nanti nilai semester aku lebih tinggi dari kamu, kamu harus
jadi pacar aku selama kita masih sekolah di sini. Enggak pedui kamu cinta atau
tidak, bagaimana?”
“Rahma,
ini bukan drama Korea. Jadi jangan mimpi, oke?”
“Bilal
sayang, aku tidak suka drama Korea, aku sukanya drama Jepang, oke?”
Aku
bergegas pergi. Otakku semakin parah jika terus-terusan bersama dengannya.
Suasana sekolahan yang sama seperti biasanya terasa begitu membosankan, apalagi
ditambah dengan kehadiran makhluk yang satu itu, bagai neraka. Mengapa Tuhan
menciptakan makhluk seperti dia, wanita itu indah? Mungkin si pembuat ungkapan
itu belum bertemu dengan si wanita yang satu itu.
“Hai
Bil!”
“Maaf tidak melayani permintaan tanda tangan!” aku
berlalu begitu saja dari hadapannya.
“Memang
bukan itu yang aku mau Bil, tapi terima tantanganku. Oke?”
“Beri
alasan mengapa aku harus menerimanya?” kataku sambil berbalik menengoknya.
“Karena
aku menyukaimu!”
“Dan
aku tidak menyukaimu. Tidak ada yang perlu dibahas lagi, jadi cukup! Pergi jauh-jauh
dari aku!”
“Bil
apakah kamu manusia yang selamanya tidak akan jatuh cinta?”
“Aku
akan jatuh cinta suatu saat nanti. Tapi bukan dengan kamu!”
“Aku
akan pergi kalau begitu. Itu kan yang ingin kamu dengar dari aku, tidak akan
Bil. Aku tidak akan lupa bagaimana perasaanku sama kamu, aku tidak akan lupa
kepada seorang laki-laki yang menyebutku sebagai seorang wanita. Dan aku akan
jatuh cinta pada laki-laki itu, tidak peduli ia cinta atau tidak. Bil, terserah
kamu mau menerima tantanganku atau tidak, yang pasti akan aku buktikan aku bisa
mengalahkanmu di ujian semester nanti. Dan kamu akan merasakan cinta pada
wanita ini.” Ia berbalik pergi meninggalkanku, ia menangis.
Aku
tahu ia menangis, dan sudah pasti ia menangis. Ia wanita, yang memiliki samudra
di kelopak matanya, apa yang menjadi alasan untukku mengejarnya? Itu hal yang
wajar, wanita menangis adalah hal biasa. Itu memanglah rancangan Tuhan, jadi
mengapa aku harus mengejarnya? Ini kisah nyata, bukan kisah-kisah percintaan romantis
khayalan para pemimpi yang lupa untuk membuka mata dan melihat betapa nyatanya
dunia ini dan betapa rapuhnya khayalan yang ia bayangkan yang tak bertahan lama
hingga ia akan pudar oleh ingatan.
Hari
mulai berganti minggu dan ia mulai berubah menjadi bulan. Kehidupan sekolahku
yang biasa-biasa saja, aku lewati tanpa meninggalkan kesan yang mendalam. Rahma
mulai menjauhiku sejak kejadian waktu itu. Entah ia benar-benar berhenti dan
sadar akan apa yang ia impikan atau hanya fokus untuk belajar dan masih
berambisi mengalahkanku. Bukannya bahagia, aku justru merasakan ada sesuatu
yang hilang. Sesuatu yang sering menggangguku dengan suara bisingnya saat
istirahat, saat kami berjumpa, saat aku pulang kerja, dan saat-saat ia
menatapku dengan tatapan penuh kepercayaan diri.
Bukan
cinta yang tumbuh, aku sadar betul akan perasaanku. Aku merasa kehilangan sosok
yang aku rasa menjadi rivalku. Walaupun aku tidak melakukan perubahan pada
aktifitasku karena terusik oleh tantangannya, tapi aku merasakan ia mengakui
kehebatanku sehingga ia mati-matian mengalahkanku, itu yang terpikir. Biarlah,
ia berbuat sesuka hatinya. Karena bagaimanapun juga, tidak ada yang akan bisa
mengalahkanku. Tingkatnya jauh di bawahku, bukan hal yang perlu aku risaukan.
Tibalah
saat pengumuman hasil ujian semester pertama. Aku benar-benar tidak peduli
dengan tantangannya tapi tetap saja aku penasaran, apakah ia berhasil
mengalahkanku? Dan hasilnya tidak. Ia tetap berada di bawahku, dan aku tetaplah
sang juara tanpa pernah dapat disentuh siapapun. Aku pikir aku akan mencarinya
dan memintanya berhenti melakukan hal yang mustahil ia lakukan.
“Hai.”
“Stop!
Aku sudah tahu. Aku kalah dari kamu, aku akui itu.”
“Baguslah,
aku pergi!” aku segera berbalik menninggalkannya.
“Tapi
sepertinya aku memenangkan hatimu deh Bil?”
“Hah?”
tanyaku menengok ke belakang kembali.
“Bilal,
manusia tercuek di sekolah ini. Ia datang ke sini untuk mendapat pengakuan
kemenangan dari tantangan yang tak ia terima. Apa karena Bilal mulai jatuh
cinta pada Rahma? Apa kerena Bilal mulai merindukan kehadiran Rahma? Apa Bilal
ingin memastikan Rahma tidak menangis karena ia kalah taruhan? Entahlah! Siapa
juga yang tahu isi hati seseorang, iya kan Bil?”
“Jangan
besar kepala kamu!”
“Aku
tidak besar kepala. Tapi kedatanganmu ke sini, ke hadapanku adalah bukti kamu
merindukan aku. Kamu merindukan wanita yang dulu terobsesi mengejarmu, wanita
yang dulu selalu berisik di sampingmu, wanita yang dulu menangis di depanmu,
wanita yang dulu mencintaimu! Iya kan Bil? Tapi kini semua terlambat Bil, aku
sudah tak menginginkan menjadi pacarmu. Terserah kamu bebas untuk melakukan
apapun, karena aku sudah tak ingin jadi pacar manusia macam kamu, paham?”
Ia
menangis lagi, kini ia lebih berani dari sebelumnya. Ia memandang mataku dengan
matanya yang berkaca-kaca penuh linangan air mata. Ia tak memalingkan wajahnya
yang tengah menangis dengan mata yang sembab ia menatapku penuh keyakinan di
matanya. Mata yang benar-benar membuatku iri, mata yang mampu melihat tegak
lurus tanpa pernah bisa tertunduk karena suatu kekalahan.
“Bil,
kamu tahu yang aku rasakan sekarang? Aku sudah melepaskan harapanku untuk menjadi
pacarmu, tapi aku merasa aku lebih pantas untuk menjadi istri kamu. Bagaimana?
Mau enggak memiliki istri seperti aku?”
Aku
terperangah melihat perubahannya yang begitu menakjubkan. Ia belajar akting
sejak kapan, sesaat yang lalu ia menangis dengan begitu meyakinkan dan kini ia
tersenyum dengan sangat manis di depanku. Aku tertawa melihat semuanya, aku tak
dapat menahan tawaku ini. Ia sangat-sangat konyol dan jauh dari apa yang
terlintas di pikiranku.
“Ini
Bilal yang aku cari. Bilal yang aku cintai, rasanya tidak percuma air mataku
jatuh menetes.”
“Itu
ingusmu,” kataku menunjuk hidungnya sambil terus tertawa terpingkal-pingkal.
“Ups
iya. Wajahku jadi terlihat jelek kalau begini,” ujarnya seraya menyeka air
matanya.
“Tidak,
kamu cantik. Kamu cantik terlebih saat kamu bisa diam dan mengijinkanku
mengusap air matamu itu. Karena kamu begitu bodoh hingga mengusap air mata saja
tidak bisa.”
“Oke,
tolong yah,” dengan tersenyum ia mendekatkan wajahnya. Aku usap air matanya,
matanya menjadi bengkak dan menggemaskan. Jika dilihat dari dekat ia tak hanya
cantik bahkan ia begitu menyenangkan untuk dipandang. “Bil, aku cantik yah? Kok
senyum-senyum gitu?” Aku tepuk jidatnya,”Pede banget sih!”
“Gimana
Bil, pacar?”
Aku
menggelengkan kepala, “Tidak! Teman saja yah?”
“Oke,
selama itu bisa membuka hatimu itu, dan menarik tiap sudut bibirmu hingga kamu
bisa tersenyum enggak masalah. Lagipula status pacar juga tidak diakui oleh
Negara ini.”
Itulah
awal kisah persabahatanku yang hingga sekarang ia tetaplah menjadi sahabat
terbaik. Sahabat yang tak akan pernah pergi dari sampingku, bahkan selalu
membuatku terpingkal-pingkal dengan sikap konyol dan kekanak-kanakannya. Yah,
ini buka kisah cinta Cinderella ataupun putri tidur yang mengharu biru. Ini hanya
sepenggal kisah cinta ciptaan Tuhan, kisah cinta biasa saja. Tapi bagi kami,
ini adalah kisah cinta yang luar biasa.