Web Hosting

Kamis, 07 Mei 2015

Bagai Pelangi

      Semuanya terdiam mendengar Ilham yang tengah dimarahi Pak Budi.Tidak ada satupun yang berani membuka mulut membela Ilham.Ilham hanya tertunduk malu di hadapan teman-temannya. Walau aku juga kasihan melihatnya tapi aku bisa apa, melawan Pak Budi yang tengah naik pitam terlalu beresiko.

Setelah beberapa saat Ilham akhirnya terselamatkan oleh bel istirahat yang juga mengakhiri penderitaannya. Pak Budi keluar dengan angkuhnya seakan apa yang ia perbuat adalah hal yang benar. Menurutku justru apa yang ia perbuat adalah kesalahan besar, ia sudah menjatuhkan mental anak didiknya sebelum perang dimulai. Bagaimana orang yang seperti itu bisa menjadi seorang guru yang seharusnya dipanuti?
“Ham,” aku dekati ia. Ia tetap tak bergeming dengan raut kesedihan yang tergambar jelas di wajahnya. Sebagai teman aku harus menghiburnya, tapi bagaimana? Kata apa yang pas untuk aku berikan sebagai motivasi sedangkan aku memotivasi diriku sendiri bahkan tidak bisa.
Sepanjang jam pelajaran berlangsung Ilham berubah menjadi seseorang yang tidak aku kenal. Dia tak lagi menjadi Ilham yang sangat khas dengan celetuk-celetuknya yang membuatku bisa terpingkal-pingkal tertawa.Dia tak lagi tersenyum dengan lesung pipit yang menghiasi kedua pipinya.Ilham yang ku kenal entah kemana dan kini yang tengah duduk di sampingku entah siapa.
Pulang sekolah pun ia memilih pulang sendiri naik bus. Aku berpikir mungkin memang lebih baik aku biarkan ia sendiri, dan besok aku berharap ia sudah seperti sedia kala. Sepanjang perjalanan pulang tak henti aku memikirkan tentangnya. Aku terus-terusan berpikir apa yang bisa aku perbuat untuk membantunya.
Esok harinya ternyata Ilham justru tidak masuk sekolah. Aku menjadi bertanya-tanya apa yang terjadi dengannya hingga ia tidak masuk sekolah. Apa ia sakit, atau ada alasan lain. Ah, aku tidak tahu dengan pasti karena biasanya ia murid yang rajin. Seharian tanpa mendengar celoteh darinya sangat membosankan. Biasanya ia mampu membuat gelak tawaku terdengar begitu keras hingga aku bisa sedikit melupakan beban pelajaran, tapi kini ia menghilang.
Bahkan tak hanya hari ini, hari-hari selanjutnya aku harus kehilangan orang pengocok perut ini. Sudah seminggu ia tidak masuk sekolah. Andai tidak terbebani dengan tugas dan pr mungkin aku sudah main ke rumahnya dan menanyakan apa yang tengah ia alami.
Hari ini dengan terpaksa aku pergi sekolah dengan naik bus.Motorku sudah meraung-raung minta pergi ke salon untuk perawatan.Sekian lama tidak naik kendaraan umum rasanya agak sedikit kaget dengan suasana panas dan pengap.Di tengah keasyikanku memandang pohon-pohon yang berjajar di tepi jalan, aku di kejutkan dengan colekan di bahuku.
“Ilham!” kataku terkejut melihat orang yag sudah mencolekku. “Kamu sedang apa? Kemana saja kamu kok tidak sekolah?”
Bukannya menjawab pertanyaanku justru ia pergi ke bagian depan bus. Sikapnya terlihat begitu gugup ketika ia melihatku. Sejenak aku perhatikan apa yang ia perbuat di atas bus dan akhirnya aku dapat menyimpulkan, ia menjadi kenek. Ya Tuhan, ada apa dengan temanku ini, mengapa ia sampai menjadi kenek bus seperti ini?
Aku dekati kenek bus yang satunya, katanya Ilham baru seminggu menjadi kenek bus itu. Aku langsung berinisiatif menanyakan jam berapa bus itu masuk garasi dan alamat garasinya. Aku berniat menemuinya di garasi dan mendengarkan segala keluh kesahnya.
Bel pulang sekolah seolah menjadi tanda peringatan bagiku untuk segera meninggalkan sekolah. Tanpa membuang-buang waktu aku segera pergi menuju garasi bs yang aku pakai tadi pagi. Sesampainya di sana  rupanya bus yang dikeneki oleh Ilham belum kembali. Terpaksa aku menuggu bus itu sendirian.
Dari kejauhan aku lihat Ilham yang turun dari bus dengan wajah yang Nampak kelelahan.Aku berlari mendekati dan berteriak-teriak memanggilnya.“Ham, tunggu aku mau bicara.”
“Bicara apa Lal?”
“Kamu kenapa jadi kenek bus?”
“Memangnya apa urusanmuu?”
“Lantas siapa aku?Temanmu kah? Musuhmu kah”
Ilham tertunduk tak mampu menjawab. Aku tahu ia sangat menghargaiku sebagai sahabatnya. Akulah teman terdekatnya yang selalu ada untuknya. “Ham, ada apa?” bujukku.
“Lal, maaf ya membuat kamu khawatir.Aku sebenarnya tidak mau membebani kamu dengan masalah yang sedang aku hadapi.”
“Hei, kita teman kan?”
Ia mengangguk dan mulai menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Tentang biaya sekolahnya yang belum dapat ia lunasi. Tentang ibunya yang setiap hari banting tulang membuatnya tidak tega untuk lebih membebaninya. Setelah kepergian ayahnya memang semua terasa sulit bagi keluarganya.Tapi itu bukan alasan bagi ibunya untuk menikah lagi.Ia terus berjuang membesarkan dan menyekolahkan anak semata wayangnya, Ilham.
“Kamu harus masuk sekolah!”
“Tapi aku malu.”
“Pokoknya kamu harus sekolah.ingat Tuhan tidak akan memberikan masalah tanpa seorang sahabat. Dan sahabat yang harus kamu temui ialah sabar. Jika kamu mau bersahabat dengannya kamu akan bisa melalui semua ini. Apa lagi kamu masih punya sahabat yang lain yaitu aku.”
Ia terdiam mendengar ceramah dariku. Kami berpisah setelah adzan isya’ terdengar dari kejauhan. Setelah tahu apa yang tengah di hadapi temanku ini, aku sedikit merasa kecewa. Bukankah cita-cita bangsa ini mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi mengapa pendidikan yang menjadi sarana untuk mencerdaskan sangatlah sulit dijangkau untuk orang-orang tertentu.
Esok harinya rupanya Ilham tetap tak datang. Dan aku terus berusaha mencari ide bagaimana caranya agar ia masuk sekolah. Setelah memohon-mohon pada para guru yang hasilnya nihil akhirnya aku menggalangkan dana demi temanku ini. Aku bersama teman-teman sekelasku minta sumbangan sukarela demi biaya temanku ini.Tak banyak yang bisa kami dapatkan tapi itu tak membuat semangatku menurun.Aku turun ke jalan bagai pengemis demi temanku.
“Lal dari mana kamu, kok sampai kotor begini?” kata ibuku menyambut pintu gerbang.
“Dari minta sumbangan Bu.”
“Loh untuk siapa?”
“Ibu ingat enggak Ilham?”
“Tentu dong. Memangnya ada apa?”
“Dia tidak masuk sekolah Bu. Gara-garanya dia belum bayar spp. Makanya Bilal berusaha ngumpulin duit buat dia.”
Ibu hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasanku.Aku segera pergi ke kamarku membuang rasa lelahku.“Jadi seperti ini lelahnya bekerja. Ini cuma berdiri saja, sedangkan Ilham harus teriak-teriak pasti ia lebih capek lagi,” batinku.
“Lal, kata Ibumu kemarin kamu menggumpulkan uang untuk temanmu.”
“Iya Yah.”
“Dapat berapa?”
“Cuma dapat Rp473.000,- Yah.”
“Oh, kamu tahu rumahnya Ilham?”
“Tahu Yah.”
“Nanti sore antar Ayah ke sana ya!”
“Memangnya ada apa Yah?”
“Ya pokoknya nanti sore kita pergi saja ke sana.”
Sebuah pertanyaan besar muncul di benakku.Apa yang ayah akan lakukan? Entahlah, yang pasti nanti sore aku juga akan tahu. Saat jam istirahat aku segera pergi ke ruang administrasi untuk menyetorkan uang hasil kemarin. Tapi betapa terkejutnya aku, rupanya semua biaya Ilham sudah lunas.Ketika aku bertanya siapa yang melunasi, mereka pun tidak tahu siapa orng tersebut.
Semua bagai dongeng, penuh keajaiban.Atau mungkin Tuhan tengah menunjukkan kuasa-Nya, entahlah.Aku tidak pernah bisa berhenti bertanya hingga saat ini aku duduk di dalam rumah Ilham yang begitu sederhana.Hampir tidak ada perabotan yang mewah di sini.Di hadapanku ada ibunya Ilham dan Ilham yang tampak begitu kelelahan karena seharian bekerja.
“Bu, maksud kedatangan saya ke sini untuk meminta bantuan dari nak Ilham.”
“Maaf batuan apa ya Pak?”
“Begini Bu, saya dengar dari anak saya Bilal, Ilham ini anak yang cerdas. Saya ingin Ilham menjadi guru les bagi anak saya. Ibu tenang saja, biayanya akan saya bayar berapapun itu.”
Aku terperangah melihat apa yang dikatakan ayah. Aku melihatnya tanpa berkedip tak percaya dengan apa yang aku dengar. “Nak Ilham, Om harap besok Nak Ilham mau masuk sekolah. Tidak perlu malu, karena semua biayanya sudah Om bayar. Dan ini tanda buktinya.”
Aku semakin tidak percaya bahwa ini adalah kenyataan.Aku berharap ini buan mimpi tapi mengapa rasanya seperti mimpi.Semua di ruangan itu tidak dapat berkata-kata mendengar cerita ayah.Bahkan lama kelamaan suara isak tangis justru muncul di tengah obrolan kami.Ilham dan ibunya tak kuasa membendung air matanya.
“Yah, terima kasih,” kataku di dalam mobil.
“Satu hal yang harus kamu pelajari ketika kelak kamu sudah dewasa sayang.Bahwa kamu bisa sukses itu bukan karena dirimu sendiri, tapi karena orang yang mengenal kamu. Orang-orang yang di sekitar kamu lah yang akan mensukseskan kamu kelak. Dan terlalu sombong jika kamu tidak berterima kasih kepada mereka.”
Walau aku belum tahu apa maksud perkataan ayah tapi yang paling penting untuk sekarang ini temanku sudah kembali. Bahkan ia akan menjadi guru les privatku. Sungguh luar biasa Tuhan dalam bertindak, selalu dan selalu berada di luar batas logika manusia. Satu hal yang bisa aku pelajari dari semua ini, pelangi akan muncul ketika kita menunggu hujan reda.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar