Semuanya
terdiam mendengar Ilham yang tengah dimarahi Pak Budi.Tidak ada satupun yang
berani membuka mulut membela Ilham.Ilham hanya tertunduk malu di hadapan
teman-temannya. Walau aku juga kasihan melihatnya tapi aku bisa apa, melawan
Pak Budi yang tengah naik pitam terlalu beresiko.
Setelah
beberapa saat Ilham akhirnya terselamatkan oleh bel istirahat yang juga
mengakhiri penderitaannya. Pak Budi keluar dengan angkuhnya seakan apa yang ia
perbuat adalah hal yang benar. Menurutku justru apa yang ia perbuat adalah
kesalahan besar, ia sudah menjatuhkan mental anak didiknya sebelum perang
dimulai. Bagaimana orang yang seperti itu bisa menjadi seorang guru yang
seharusnya dipanuti?
“Ham,”
aku dekati ia. Ia tetap tak bergeming dengan raut kesedihan yang tergambar
jelas di wajahnya. Sebagai teman aku harus menghiburnya, tapi bagaimana? Kata
apa yang pas untuk aku berikan sebagai motivasi sedangkan aku memotivasi diriku
sendiri bahkan tidak bisa.
Sepanjang
jam pelajaran berlangsung Ilham berubah menjadi seseorang yang tidak aku kenal.
Dia tak lagi menjadi Ilham yang sangat khas dengan celetuk-celetuknya yang
membuatku bisa terpingkal-pingkal tertawa.Dia tak lagi tersenyum dengan lesung
pipit yang menghiasi kedua pipinya.Ilham yang ku kenal entah kemana dan kini
yang tengah duduk di sampingku entah siapa.
Pulang
sekolah pun ia memilih pulang sendiri naik bus. Aku berpikir mungkin memang
lebih baik aku biarkan ia sendiri, dan besok aku berharap ia sudah seperti
sedia kala. Sepanjang perjalanan pulang tak henti aku memikirkan tentangnya.
Aku terus-terusan berpikir apa yang bisa aku perbuat untuk membantunya.
Esok
harinya ternyata Ilham justru tidak masuk sekolah. Aku menjadi bertanya-tanya
apa yang terjadi dengannya hingga ia tidak masuk sekolah. Apa ia sakit, atau
ada alasan lain. Ah, aku tidak tahu dengan pasti karena biasanya ia murid yang
rajin. Seharian tanpa mendengar celoteh darinya sangat membosankan. Biasanya ia
mampu membuat gelak tawaku terdengar begitu keras hingga aku bisa sedikit
melupakan beban pelajaran, tapi kini ia menghilang.
Bahkan
tak hanya hari ini, hari-hari selanjutnya aku harus kehilangan orang pengocok
perut ini. Sudah seminggu ia tidak masuk sekolah. Andai tidak terbebani dengan
tugas dan pr mungkin aku sudah main ke rumahnya dan menanyakan apa yang tengah
ia alami.
Hari
ini dengan terpaksa aku pergi sekolah dengan naik bus.Motorku sudah
meraung-raung minta pergi ke salon untuk perawatan.Sekian lama tidak naik
kendaraan umum rasanya agak sedikit kaget dengan suasana panas dan pengap.Di
tengah keasyikanku memandang pohon-pohon yang berjajar di tepi jalan, aku di
kejutkan dengan colekan di bahuku.
“Ilham!”
kataku terkejut melihat orang yag sudah mencolekku. “Kamu sedang apa? Kemana
saja kamu kok tidak sekolah?”
Bukannya
menjawab pertanyaanku justru ia pergi ke bagian depan bus. Sikapnya terlihat
begitu gugup ketika ia melihatku. Sejenak aku perhatikan apa yang ia perbuat di
atas bus dan akhirnya aku dapat menyimpulkan, ia menjadi kenek. Ya Tuhan, ada
apa dengan temanku ini, mengapa ia sampai menjadi kenek bus seperti ini?
Aku
dekati kenek bus yang satunya, katanya Ilham baru seminggu menjadi kenek bus
itu. Aku langsung berinisiatif menanyakan jam berapa bus itu masuk garasi dan
alamat garasinya. Aku berniat menemuinya di garasi dan mendengarkan segala
keluh kesahnya.
Bel
pulang sekolah seolah menjadi tanda peringatan bagiku untuk segera meninggalkan
sekolah. Tanpa membuang-buang waktu aku segera pergi menuju garasi bs yang aku
pakai tadi pagi. Sesampainya di sana
rupanya bus yang dikeneki oleh Ilham belum kembali. Terpaksa aku menuggu
bus itu sendirian.
Dari
kejauhan aku lihat Ilham yang turun dari bus dengan wajah yang Nampak
kelelahan.Aku berlari mendekati dan berteriak-teriak memanggilnya.“Ham, tunggu
aku mau bicara.”
“Bicara
apa Lal?”
“Kamu
kenapa jadi kenek bus?”
“Memangnya
apa urusanmuu?”
“Lantas
siapa aku?Temanmu kah? Musuhmu kah”
Ilham
tertunduk tak mampu menjawab. Aku tahu ia sangat menghargaiku sebagai
sahabatnya. Akulah teman terdekatnya yang selalu ada untuknya. “Ham, ada apa?”
bujukku.
“Lal,
maaf ya membuat kamu khawatir.Aku sebenarnya tidak mau membebani kamu dengan masalah
yang sedang aku hadapi.”
“Hei,
kita teman kan?”
Ia
mengangguk dan mulai menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Tentang
biaya sekolahnya yang belum dapat ia lunasi. Tentang ibunya yang setiap hari
banting tulang membuatnya tidak tega untuk lebih membebaninya. Setelah
kepergian ayahnya memang semua terasa sulit bagi keluarganya.Tapi itu bukan
alasan bagi ibunya untuk menikah lagi.Ia terus berjuang membesarkan dan
menyekolahkan anak semata wayangnya, Ilham.
“Kamu
harus masuk sekolah!”
“Tapi
aku malu.”
“Pokoknya
kamu harus sekolah.ingat Tuhan tidak akan memberikan masalah tanpa seorang
sahabat. Dan sahabat yang harus kamu temui ialah sabar. Jika kamu mau
bersahabat dengannya kamu akan bisa melalui semua ini. Apa lagi kamu masih
punya sahabat yang lain yaitu aku.”
Ia
terdiam mendengar ceramah dariku. Kami berpisah setelah adzan isya’ terdengar
dari kejauhan. Setelah tahu apa yang tengah di hadapi temanku ini, aku sedikit
merasa kecewa. Bukankah cita-cita bangsa ini mencerdaskan kehidupan bangsa,
tapi mengapa pendidikan yang menjadi sarana untuk mencerdaskan sangatlah sulit
dijangkau untuk orang-orang tertentu.
Esok
harinya rupanya Ilham tetap tak datang. Dan aku terus berusaha mencari ide
bagaimana caranya agar ia masuk sekolah. Setelah memohon-mohon pada para guru
yang hasilnya nihil akhirnya aku menggalangkan dana demi temanku ini. Aku
bersama teman-teman sekelasku minta sumbangan sukarela demi biaya temanku
ini.Tak banyak yang bisa kami dapatkan tapi itu tak membuat semangatku
menurun.Aku turun ke jalan bagai pengemis demi temanku.
“Lal
dari mana kamu, kok sampai kotor begini?” kata ibuku menyambut pintu gerbang.
“Dari
minta sumbangan Bu.”
“Loh
untuk siapa?”
“Ibu
ingat enggak Ilham?”
“Tentu
dong. Memangnya ada apa?”
“Dia
tidak masuk sekolah Bu. Gara-garanya dia belum bayar spp. Makanya Bilal
berusaha ngumpulin duit buat dia.”
Ibu
hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasanku.Aku segera pergi ke kamarku
membuang rasa lelahku.“Jadi seperti ini lelahnya bekerja. Ini cuma berdiri
saja, sedangkan Ilham harus teriak-teriak pasti ia lebih capek lagi,” batinku.
“Lal,
kata Ibumu kemarin kamu menggumpulkan uang untuk temanmu.”
“Iya
Yah.”
“Dapat
berapa?”
“Cuma
dapat Rp473.000,- Yah.”
“Oh,
kamu tahu rumahnya Ilham?”
“Tahu
Yah.”
“Nanti
sore antar Ayah ke sana ya!”
“Memangnya
ada apa Yah?”
“Ya
pokoknya nanti sore kita pergi saja ke sana.”
Sebuah
pertanyaan besar muncul di benakku.Apa yang ayah akan lakukan? Entahlah, yang
pasti nanti sore aku juga akan tahu. Saat jam istirahat aku segera pergi ke
ruang administrasi untuk menyetorkan uang hasil kemarin. Tapi betapa
terkejutnya aku, rupanya semua biaya Ilham sudah lunas.Ketika aku bertanya
siapa yang melunasi, mereka pun tidak tahu siapa orng tersebut.
Semua
bagai dongeng, penuh keajaiban.Atau mungkin Tuhan tengah menunjukkan kuasa-Nya,
entahlah.Aku tidak pernah bisa berhenti bertanya hingga saat ini aku duduk di
dalam rumah Ilham yang begitu sederhana.Hampir tidak ada perabotan yang mewah
di sini.Di hadapanku ada ibunya Ilham dan Ilham yang tampak begitu kelelahan
karena seharian bekerja.
“Bu,
maksud kedatangan saya ke sini untuk meminta bantuan dari nak Ilham.”
“Maaf
batuan apa ya Pak?”
“Begini
Bu, saya dengar dari anak saya Bilal, Ilham ini anak yang cerdas. Saya ingin
Ilham menjadi guru les bagi anak saya. Ibu tenang saja, biayanya akan saya
bayar berapapun itu.”
Aku
terperangah melihat apa yang dikatakan ayah. Aku melihatnya tanpa berkedip tak
percaya dengan apa yang aku dengar. “Nak Ilham, Om harap besok Nak Ilham mau
masuk sekolah. Tidak perlu malu, karena semua biayanya sudah Om bayar. Dan ini
tanda buktinya.”
Aku
semakin tidak percaya bahwa ini adalah kenyataan.Aku berharap ini buan mimpi
tapi mengapa rasanya seperti mimpi.Semua di ruangan itu tidak dapat
berkata-kata mendengar cerita ayah.Bahkan lama kelamaan suara isak tangis
justru muncul di tengah obrolan kami.Ilham dan ibunya tak kuasa membendung air
matanya.
“Yah,
terima kasih,” kataku di dalam mobil.
“Satu
hal yang harus kamu pelajari ketika kelak kamu sudah dewasa sayang.Bahwa kamu
bisa sukses itu bukan karena dirimu sendiri, tapi karena orang yang mengenal
kamu. Orang-orang yang di sekitar kamu lah yang akan mensukseskan kamu kelak.
Dan terlalu sombong jika kamu tidak berterima kasih kepada mereka.”
Walau
aku belum tahu apa maksud perkataan ayah tapi yang paling penting untuk
sekarang ini temanku sudah kembali. Bahkan ia akan menjadi guru les privatku.
Sungguh luar biasa Tuhan dalam bertindak, selalu dan selalu berada di luar
batas logika manusia. Satu hal yang bisa aku pelajari dari semua ini, pelangi
akan muncul ketika kita menunggu hujan reda.